Dulu, unit-unit yang digunakan Teme serba manual, setiap operator juga merangkap mekanik. "Kita kerja dikasih tool box. Jadi, kalau alat rusak, kau bongkar sendiri." Kondisi serba susah ini membentuk etos kerja para karyawan generasi awal, serta merefleksikan salah satu nilai utama Buma yang selalu digenggam erat hingga saat ini, yakni DAPAT DIPERCAYA untuk merangkap banyak pekerjaan dan bertanggung jawab atas berbagai hal tersebut.

scroll kebawah

Berkarya untuk Hidup Lebih Baik

Site Lati, Berau, Kalimantan Timur, tanggal 9 Desember 1998. PT Bukit Makmur Mandiri Utama atau lebih dikenal sebagai BUMA baru saja dipercaya menjadi kontraktor tambang batubara di site tersebut. Dengan jumlah karyawan sekitar 160 orang, BUMA mulai mengerjakan proyek tersebut.

scroll kebawah

Organisasi tim BUMA saat itu sederhana saja. Hanya ada seorang project manager, seorang kepala bagian (kabag) produksi, serta sejumlah karyawan yang mengurusi administrasi dan keuangan. Pengawas hanya 2 orang. Selebihnya adalah operator ekskavator, sopir truk, dan mekanik. Mereka mengerjakan proyek yang dipercayakan siang-malam dalam dua shift.

Para karyawan bekerja mulai pukul 7 pagi hingga pukul 6 sore. Pada sore hari, shift pertama selesai bertugas dan digantikan oleh shift kedua yang bertugas dari pukul 6 sore hingga pukul 6 pagi keesokan harinya. Begitulah mereka bekerja selama 7 hari dalam seminggu. Selesai bekerja, mereka kembali ke mes yang sangat sederhana.

Seperti dituturkan General Manager Business Unit BUMA JS Kurniawan, mes mereka saat itu berupa bangunan dari papan dengan atap daun. Satu kamar yang menyerupai barak diisi 15-20 orang. Untuk yang memiliki jabatan, sedikit lebih baik, 1 kamar hanya ditempati oleh 4 orang. Itu pun tidak ada fasilitas apa-apa. Hanya sekelas manajer yang kamarnya dilengkapi kipas angin. Kamar mandi dipergunakan beramai-ramai. “Kadang kala, kalau tidak ada air, terpaksa mandi di sungai,” ujar karyawan yang sudah bergabung sejak BUMA mulai menggarap proyek tambang pada 1994 ini.

Untuk makan, perusahaan mempekerjakan seorang tukang masak. Namun, menunya sangat sederhana, berkisar pada nasi, mi instan, telur, sarden, ikan asin, atau ikan tongkol. Daging hanya sesekali saja disajikan.

Nyaris tidak ada kegiatan lain di luar bekerja. Bukan apa-apa, di tengah lokasi yang sangat terpencil, jauh dari mana-mana, dan tidak ada sarana komunikasi, memang tidak ada yang dapat dilakukan. Untuk bertelepon, karyawan harus ke kota terdekat yaitu Tanjung Redeb. Namun, jangan bayangkan kondisinya seperti sekarang. Pada 1998, dari site Lati, jalan tembus baru mencapai lokasi simpang Polsek Gunung Tabur sekarang. Dari situ, ke Tanjung Redeb harus dilanjutkan naik ketinting, yaitu perahu kayu berbentuk memanjang yang banyak digunakan di sungai-sungai Kalimantan.

Kondisi BUMA yang serba minim dan terbatas itu justru membuat para karyawannya menjadi kuat dan saling menguatkan satu sama lain. Untuk berangkat ke lokasi kerja, jangan bayangkan tersedia bus yang nyaman berpenyejuk udara. Yang tersedia hanyalah truk kecil tanpa atap dan para karyawan harus berdiri gelantungan. Kalau siang, kepanasan. Kalau hujan, kehujanan. Ditempa kondisi demikian, semangat kekeluargaan dan saling membantu terbentuk dengan sendirinya.

Gildus Teme, karyawan Buma dengan nomor induk 001.

Gildus Teme, karyawan BUMA dengan nomor induk 001.

Kerasnya kehidupan tambang saat itu dapat dirasakan bahkan untuk kebutuhan bahan bakar solar harus disediakan dengan cara dipikul berjalan kaki sejauh 5–6 kilometer menembus jalan gambut dan rawa hingga mencapai lokasi proyek di tengah hutan. Masing-masing pemikul solar mengangkut 40 liter solar. Hal itu sekarang boleh jadi dianggap tidak masuk akal, tetapi benar-benar nyata dan terjadi saat itu.

Sejumlah karyawan pada masa itu memang tidak memiliki latar belakang pendidikan atau keahlian apa pun kecuali tenaga. Contohnya, Gildus Teme, karyawan BUMA dengan nomor induk 001. Pada 1989, ia transmigrasi dari Nusa Tenggara Timur ke Mamuju, Sulawesi Barat. Kebetulan BUMA sedang menggarap proyek perkebunan di tempat itu. Teme tertarik melihat alat berat ekskavator (PC) yang digunakan. Ketika ada kesempatan, Teme pun tidak menyia-nyiakannya dan langsung bekerja. Ia termasuk yang merasakan bagaimana harus mengangkut solar dengan cara dipikul. Ia kemudian belajar untuk menjadi operator bantu selama 7 bulan. Ketika alat-alat baru kemudian datang, Teme ditugaskan untuk mengoperasikannya.

Teme tidak pernah mengeluh meski harus bekerja setiap hari, termasuk pada saat tanggal merah. Ia menerima upah yang kala itu besarnya Rp 20.000. “Tidak ada overtime,” tuturnya. Meski demikian, ia tidak mengeluh. Ia sadar diri karena memang tidak memiliki bekal pendidikan apa-apa. “SD saja tidak tamat. Kelas 3 berhenti karena harus bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga,” papar Teme.

Pada waktu itu, seingat Teme, ada sekitar 16 orang yang bekerja bersama dia membuka dan mempersiapkan lahan untuk perkebunan. Mereka bekerja dalam dua shift, siang dan malam, menggunakan 2 unit ekskavator, PC 200 dan PC 400. Saat itu, belum tersedia fasilitas apa pun. Jangan bayangkan ada mes yang layak karena mereka tidur hanya menggunakan terpal.

Untuk makan, mereka harus memasak sendiri. Tiap pekerja diberikan jatah beras 1 karung untuk 2 minggu. Lauknya ikan asin, sarden, dan mi instan. Peralatan dan kondisi kerja juga seadanya. Jangan bayangkan unit-unit alat berat yang memiliki penyejuk udara seperti sekarang. Dulu, unit-unit yang digunakan Teme serba manual, berbeda dibandingkan sekarang yang serba canggih, elektrik, dan otomatis.

Kalau sekarang ada gangguan atau kerusakan pada unit, operator tinggal teriak dan mekanik pun datang. Kalau dulu, kata Teme, setiap operator juga merangkap mekanik. “Kita kerja dikasih tool box. Jadi, kalau alat rusak, kau bongkar sendiri,” ujarnya.

Bukan hanya pekerja lapangan seperti Teme yang melakukan kerja merangkap-rangkap. Hal itu juga dirasakan Yono, Kepala Kantor Perwakilan BUMA di Tanjung Redeb, Berau, Kalimantan Timur. Ia masuk BUMA pada 1990, ketika perusahaan masih menggarap proyek-proyek perkebunan. Saat itu, Yono bertugas menjadi pengawas di Waru, Kalimantan Timur. Sempat merasakan di site Lati, sejak 2009 Yono ditempatkan di Tanjung Redeb.

Saat di site, dengan jumlah karyawan yang terbatas, Yono harus merangkap banyak pekerjaan, mulai dari mengurus keuangan dan pajak hingga mengelola berkas-berkas. Salah satu pekerjaannya saat itu adalah pembayaran gaji, juga dilakukan secara manual. Yono harus mencetak dan mengeluarkan slip sendiri. Ia bahkan membawa uang dalam jumlah banyak ke lokasi. “Kadang jumlahnya mencapai Rp 1 miliar lebih. Malamnya di-staples, paginya dibagikan,” kenang Yono.

Yono memahami, meski untuk tugasnya terkait pembayaran gaji ia bekerja sendirian, pengaruhnya sangat besar bagi kinerja tim secara keseluruhan. Dapat dibayangkan apabila pembayaran gaji terlambat atau mengalami gangguan, bisa-bisa seluruh karyawan terganggu pekerjaannya. Ada saja pengalaman kurang mengenakkan yang terjadi. Suatu kali, Yono sudah berangkat ke site Lati untuk membayarkan gaji. Setiba di lokasi baru ia sadar bahwa kunci brankas lupa dibawa. Padahal, para karyawan sudah menunggu. Mau tidak mau, dia harus kembali lagi ke Tanjung Redeb hanya untuk mengambil kunci.

Lain waktu, pada malam hari, ia baru tiba di Tanjung Redeb ketika mendapat telepon dari atasannya, Daniel, yang saat itu menjabat sebagai Project Manager. “Yon, besok saya mau pulang ke Balikpapan,” begitu kata Daniel. Yono memeriksa kembali, ternyata ada cek yang belum ditandatangani atasannya itu. Tanpa tanda tangan, cek itu tidak dapat dicairkan. Maka, pukul 9 malam, Yono kembali ke site Lati naik ketinting atau perahu kecil dengan motor luar berporos panjang, dilanjutkan dengan jalan kaki ke pos timbangan, baru ke mes tempat Project Manager-nya saat itu.

Kondisi yang keras dan serba susah ini membentuk etos kerja Teme, Yono, dan karyawan-karyawan BUMA pada masa-masa awal. Hal ini merefleksikan salah satu nilai utama BUMA yang selalu digenggam erat hingga saat ini, yakni dapat dipercaya untuk merangkap banyak pekerjaan dan bertanggung jawab atas berbagai hal tersebut. Fasilitas yang minim, ketiadaan sistem, dan pembagian tugas yang kurang jelas tidak menyurutkan semangat mereka. Malah, karena jumlahnya juga masih sedikit, mereka bahu-membahu untuk menyelesaikan setiap pekerjaan.

Kelahiran BUMA tak dapat dilepaskan dari Johan Lensa. Kisah kehidupan pengusaha ulet asal Pematang Siantar, Sumatera Utara, ini menjadi cermin dari keberadaan BUMA. Mendirikan usaha dari nol, mengalami tantangan hingga jatuh-bangun semua dialami Johan. Tantangan tak pernah menyurutkan semangatnya. Namun, ia juga cerdik dan lihai melihat setiap peluang bisnis yang ada.

PT Bukit Makmur Mandiri Utama atau lebih dikenal sebagai BUMA adalah perusahaan kontraktor atau penyedia jasa penambangan batubara. Berdiri pada 1998, pada 2018, BUMA genap berusia 20 tahun.

Jika diibaratkan manusia, usia 20 tahun adalah usia produktif. Semangat dan tenaga sedang hebat-hebatnya. Nyatanya, BUMA kini menjadi salah satu kontraktor tambang terbesar di Tanah Air dengan pangsa pasar hampir 20 persen. Pemilik-pemilik konsesi batubara kenamaan yang menjalin kontrak panjang dengan BUMA antara lain Berau Coal, Adaro, Kideco, Geo Energy, Petro Energy, Rain Group, dan Bayan Resources, dengan kontrak jangka panjang.

Tahun 2017 lalu, BUMA bisa memindahkan batuan penutup (overburden) sebanyak 340.2 juta bcm dan batubara yang dihasilkan mencapai 40.2 juta ton. Target pertumbuhan produksi batu bara untuk 2018 meningkat hingga mencapai 425 juta bcm atau 24,8 persen dari sebelumnya. Untuk mencapai target produksi tersebut, pada akhir tahun 2018, diperkirakan BUMA didukung sekitar 14.300 karyawan dan hampir 2.650 unit alat berat berkualitas tinggi dari beberapa vendor kelas dunia, seperti Komatsu, Caterpillar, Hitachi, Volvo, Scania, dan Mercedes.

Perjalanan Johan Lensa mendirikan BUMA dapat dilihat ketika tahun 1971 di Semarang, ia bersama temannya membuka usaha makanan membuat roti, snack, dan biskuit. Makanan tersebut dikirim ke kota-kota sekitar, yakni Kudus dan Pati di Jawa Tengah, hingga ke Bandung di Jawa Barat dan Madiun di Jawa Timur. Selanjutnya, Johan membeli tanah. Karena harus ditimbun terlebih dahulu, ia lalu mengundang kontraktor dari Jakarta. Karena senang mesin dan suka bergaul, Johan lalu banyak mengobrol dengan salah satu supervisor yang menangani alat-alat berat tersebut. Dari situlah ia mulai tertarik dan terjun ke dalam bisnis kontraktor menggunakan alat berat.

Sayangnya, langkah pertama Johan di bisnis yang baru tidaklah mulus. Ia sudah membeli alat berat dan mengeluarkan biaya macam-macam untuk menangani pembangunan pabrik sebuah perusahaan minyak nasional di Cilacap. Namun, ternyata ia ditipu. Akhirnya, alat tersebut pun digunakan untuk menggarap berbagai proyek perumahan di Semarang.

Di Semarang, antara 1981 hingga 1987, Johan banyak mendapatkan proyek menangani irigasi, perumahan, jalan tol, dan lain-lain. Dari berbagai proyek itu ia belajar untuk mengurus alat dan berhubungan dengan pemasok alat berat, antara lain Trakindo, Komatsu, dan United Tractors.

Pada 1987, Johan keluar dari perusahaan tersebut dan mulai menggarap proyek perkebunan. Alasannya keluar karena proyek-proyek irigasi yang ditangani hanya berlangsung singkat. Setelah penimbunan selesai, ia harus mencari lagi proyek berikutnya. Kalau tidak ada proyek, unit alat berat yang dimiliki pun menganggur. Berbeda halnya dengan perkebunan. “Kalau sebuah proyek perkebunan dibuka, minimal digarap selama 5 tahun,” ujar Johan.

Masuk ke tambang

Peluang baru muncul pada 1993. Johan diajak untuk melihat proyek pertambangan. Kebetulan, PT Pamapersada Nusantara (PAMA) sebagai kontraktor diminta untuk meningkatkan produksi, sedangkan saat itu perusahaan belum bisa menambah alat. Oleh karena itu, pada 1994, di bawah bendera PT Bukit Makmur Widya (BMW), Johan memulai kiprah di bidang kontraktor tambang sebagai subkontraktor PAMA. Proyek pertama yang ditangani adalah tambang batubara PT Berau Coal di Lati, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.

Pada 1995, masih sebagai subkontraktor PAMA, BMW kembali mendapatkan proyek di Tenggarong, Kalimantan Timur, milik PT Fajar Bumi Sakti. Proyek di Lati masih terus dipegang hingga 1998 ketika PAMA kemudian keluar. Maka, posisi BUMA pun “naik” menjadi kontraktor utama.

Melihat kinerja yang baik, PT Berau Coal sebagai pemilik tambang di kawasan Berau kemudian mempercayakan BUMA untuk membuka proyek di Binungan dan Suaran di Kecamatan Sambaliung, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.

Selanjutnya, BUMA terus mendapatkan kepercayaan untuk menangani proyek demi proyek. Di antaranya, proyek dari PT Bukit Baiduri Energi (BBE), PT Lanna Harita Indonesia (Lanna Harita), PT Marunda Grahamineral (MGM), PT Kideco Jaya Agung (Kideco), PT Trubaindo Coal Mining (TCM), PT Perkasa Inakakerta (PIK), PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO), PT Bahari Cakrawala Sebuku (BCS), PT Indo Muro Kencana (IMK), PT Gunungbayan Pratamacoal (GBP), PT Arutmin Indonesia (Arutmin) di Senakin Pit, PT Adaro Indonesia (Adaro), PT Darma Henwa Tbk (Darma Henwa), dan PT Kaltim Prima Coal (KPC).

Sepanjang periode 2001–2009, BUMA berlari kencang. Proyek demi proyek digarap. Dari yang tadinya hanya subkontraktor dan pemain kecil, pelan-pelan BUMA menyalip “pemain-pemain” lama dan menjadi perusahaan nomor dua kontraktor tambang di Tanah Air.

Budikwanto Kuesar, Direktur Utama Buma periode 2001-2011

Budikwanto Kuesar, Direktur Utama BUMA periode 2001-2011

Yang membanggakan, BUMA berhasil melampaui perusahaan-perusahaan asing. Hal itu tak lepas dari kejelian BUMA melihat celah pasar. Pada periode tersebut, jika melihat bisnis kontraktor tambang, memang terdapat gap yang amat lebar antara perusahaan-perusahaan kuat di papan atas dan perusahaan-perusahaan kecil di bawah. “Hampir tidak ada pemain menengah,” ujar Budikwanto Kuesar, Managing Director BUMA periode 2001–2009 dan Direktur Utama BUMA periode 2009–2011.

Bagaimana BUMA bisa menembus pasar dan mendapat kepercayaan hingga menjadi nomor dua? Menurut Budikwanto, kalau dilihat dari karakter industrinya, pertambangan termasuk kategori yang membutuhkan banyak modal (capital intensive), karena harga alat-alat berat yang digunakan amat mahal. Meski demikian, industri ini juga termasuk yang membutuhkan banyak tenaga kerja (labour intensive). Hal ini karena sekian banyak alat berat tidak akan bisa beroperasi jika tidak ada orang yang mengoperasikannya. Jadi, tantangan pemain yang hendak terjun ke dalam bisnis ini adalah memiliki modal yang kuat serta kemampuan mengelola sumber daya manusia yang banyak.

Johan Lensa termasuk pengusaha yang berani. Saat memasuki dunia tambang, khususnya batubara, insting bisnisnya yang tajam dapat melihat masa depan batubara sangat bagus. Kebetulan pada saat itu pemerintah mengeluarkan aturan master lease yang memungkinkan pengusaha mengimpor alat berat dengan keringanan biaya. Dengan aturan tersebut, biaya yang dikeluarkan untuk pembelian alat-alat berat dapat dihemat hingga 20 persen. Dengan cerdik, BUMA berinvestasi membeli alat-alat berat meskipun belum memiliki proyek. Hal itu karena kejelian melihat bahwa ke depannya demand-nya akan besar.

Pada 2001, Budikwanto bergabung dengan BUMA. Sebelumnya, Budikwanto adalah pejabat di PAMA sehingga memiliki jaringan luas dengan proyek-proyek tambang besar di Tanah Air. Ia lalu menghubungi koneksi-koneksinya yang membutuhkan kontraktor-kontraktor tambahan.

Saat itu, BUMA lebih berpengalaman sebagai kontraktor kebun. Meskipun pernah menjadi kontraktor prasarana jalan, basisnya tetap di perkebunan. Selama menjadi kontraktor kebun, hasil kerja BUMA dinilai bagus. BUMA membangun kredibilitasnya melalui proyek-proyek terdahulu di perkebunan. Namun, kalau hendak masuk ke proyek pertambangan, memang terdapat perbedaan.

“Kalau di perkebunan, kebanyakan pakai blue collar labour. Pendidikannya tidak perlu tinggi,” ungkap Budikwanto. Kebanyakan pekerjaan di perkebunan dilakukan menggunakan chainsaw. Penggunaan dozer memang ada, tetapi tidak banyak. Pola kerja seperti di perkebunan tidak dapat diterapkan di pertambangan. Di perkebunan, tidak ada keahlian teknik (engineering skill) yang khusus, berbeda halnya dengan di pertambangan.

Kepedulian dan semangat kerja tinggi

Meski demikian, pengalaman serta situasi yang dialami para karyawan generasi awal berdirinya BUMA membentuk sejumlah positif yang kemudian diteruskan pada generasi-generasi berikutnya. Kesulitan yang dialami membuat mereka saling peduli satu sama lain serta memiliki semangat kerja yang tinggi untuk dapat menyelesaikan pekerjaan. Hal ini yang dirasakan oleh setiap individu itu sendiri, bagaimana mereka ikut merasakan membangun BUMA dari awal.

Project Manager BUMA site Kideco Iwan termasuk orang yang sempat merasakan bagaimana Johan merintis usaha perkebunan. Ia bergabung pada 1988 ketika Johan mengerjakan proyek perkebunan di Singkil. Yang sangat membekas dalam ingatan Iwan adalah menyangkut integritas. “Itu yang saya rasakan dari dulu sampai sekarang tidak berubah,” tuturnya.

Sebagai karyawan, Iwan merasakan bahwa apa yang ia peroleh sesuai dengan apa yang ia lakukan. “Kalau bekerja lebih, kita pasti akan mendapatkan sesuatu yang lebih pula. Tapi, bukan dari uang kiri-kanan.”

Karakter individu ini memang menjadi perhatian dalam perekrutan karyawan di generasi awal berdirinya BUMA. Jika perusahaan lain mencari karyawan-karyawan yang pintar, antara lain dari ijazah yang dimiliki, tetapi hal itu bukan pertimbangan utama. Tak heran jika terdapat seorang site manager yang cuma lulusan SMP dan paling tinggi lulusan SMA. Jika ada yang mau bekerja, Johan akan melihat keseriusan orang itu. Biasanya akan ditanya pengalamannya apa saja. Lalu, diberi kesempatan untuk mencoba jika terlihat keinginan dari dalam diri individu tersebut untuk maju dan berkembang untuk lebih baik lagi.

Loyalitas dan kejujuran tidak kalah pentingnya. Hal ini dikarenakan berbuat suatu kesalahan adalah hal yang wajar. Namun, loyalitas dan kejujuran adalah salah satu aspek yang terpenting untuk seorang individu agar dapat berkembang menjadi sosok yang lebih baik lagi. Penyebab kesalahan dapat dilihat, apakah dikarenakan sengaja berbuat salah atau karena tidak mengerti. “Kalau tidak mengerti, masih bisa diajari. Namun, jika yang bermasalah perihal loyalitas dan kejujuran, susah untuk diperbaiki,” ujar Johan.

Penataan sumber daya manusia menjadi salah satu fokus di awal BUMA berkembang. Dalam skala perusahaan yang masih kecil, keberhasilan membentuk etos kerja disebabkan oleh para pimpinan BUMA yang “turun langsung ke bawah” dan memberi contoh. Seperti diakui oleh Teme, ia dapat bertegur sapa kalau Johan turun ke lapangan sebagai founder dan pemilik BUMA saat itu. Apa yang dimakan Teme dan rekan-rekannya juga dimakan oleh Johan, tidak ada perbedaan antara pimpinan dan karyawan.

Karena BUMA masih tergolong perusahaan keluarga, perwujudan rasa pedulinya tidak terlampau terikat pada norma-norma seperti lazimnya perusahaan-perusahaan modern, yakni pendekatannya kekeluargaan. Misalnya, memberikan apresiasi atau penghargaan lebih pada karyawan-karyawan yang berprestasi. Selain itu, apresiasi juga diberikan pada momen-momen istimewa, sebutlah perayaan Tahun Baru Imlek. Pendekatan-pendekatan personal seperti ini tak pelak membuat karyawan merasa dihargai dan mau bekerja lebih giat.

Semangat pantang menyerah para karyawan yang dibentuk sejak generasi awal terus terpelihara hingga kini. Meskipun kondisi perusahaan kini jauh membaik, karyawan-karyawan lama yang pernah merasakan susahnya bekerja di masa awal BUMA terus mempertahankan etos kerja tersebut. Salah satu contohnya adalah Iver Yacobus, Superintendent Produksi BUMA site Adaro yang sudah bekerja di perusahaan ini sejak 16 tahun silam. Setiap hari, pagi-pagi benar, ia sudah berdiri di pos pantau. Kesehariannya memang kerap berada di pos ini untuk memastikan lini produksi bekerja sesuai target.

“Setengah enam pagi kita sudah di sini. Begitu teng jam enam kita meeting di sini. Setelah itu planning fleet, susun strategi kerja, sama mengatur orang kerja, setelah itu berkeliling melihat area-area mana yang akan digarap atau pernah dilaporkan ada masalah sehingga kita cek apakah masalahnya sudah beres atau bagaimana,” katanya.

Rapat di pos ini bertujuan menentukan strategi harian mereka. Sebab, setiap hari bisa ada pekerjaan-pekerjaan yang bersifat prioritas atau kritikal. Inilah yang menjadi perhatian tim produksi, engineering, safety, dan manajer proyeknya. Dari pos pantau ini, relatif langsung terlihat kondisi medan tambang di bagian bawah. Rapat pun diusahakan berlangsung cepat, paling lambat 40 menit untuk menyusun strategi.

Karyawan senior seperti Iver memahami betul karakteristik BUMA. Sejak generasi awal hingga saat ini, kultur kekeluargaan selalu terasa. Perbedaannya, saat ini, semua sudah lebih terkomputerisasi dan terdigitalisasi sehingga kesannya lebih transparan.

“Waktu masih bersama Pak Johan, saya ikut sejak dari kebun. Saat itu, masih zaman susah-susahnya. Saya sebenarnya sudah ikut Pak Johan itu sejak tahun 1991, cuma bekerja khusus di tambang itu baru mulai sekitar tahun 2002. Sebelum itu, kita kerja di banyak proyek. Pak Johan ambil banyak proyek untuk digarap. Ada proyek transmigrasi, buat jembatan, dermaga, pokoknya banyak,” kenang Iver.

Sejak ikut menggarap beragam proyek itu, Iver memang sudah berurusan dengan pekerjaan teknis. Yang membedakan hanya peralatannya. Setelah masuk tambang, ia merasakan peralatan produksi yang lebih masif dan tuntutan safety yang kian tegas serta setumpuk peraturan yang ketat.

Kalau di kebun, pekerja mau naik ke unit boleh-boleh saja, sedangkan di tambang hanya operator yang bisa. Bahkan, bagi pekerja tambang, berdiri dekat unit pun ada aturan jarak. Namun, perubahan rutinitas dan peraturan ini tak menjadi persoalan bagi karyawan-karyawan senior BUMA. Peralatan saat masih di kebun pun serba terbatas. Dan, ketika mereka masuk ke tambang, sebenarnya ada perasaan gembira sebab peralatan kerja makin canggih serta kesejahteraan keluarga juga makin terjamin, khususnya soal kesehatan.

Sebagai seorang superintendent, Iver mesti mempelajari perilaku manusia. Sebab, di bagian produksi BUMA di Adaro terdapat lebih dari 400 orang operator. Jika ditambah foreman dan supervisor, jumlahnya menjadi sekitar 450 karyawan. Dengan mengetahui seluk-beluk perilaku manusia, Iver lebih mudah untuk mengatur anggotanya.

“Manusia itu banyak sifatnya, ya. Kita mesti pintar-pintar bisa ‘melihat’ dia. Kalau ada operator salah, misalnya, tidak langsung memarahi atau apa. Kita ajak ngobrol dulu. Tapi, ada juga yang memang harus ditekan, harus dimarahin baru bisa berubah. Jadi, macam-macam, ya, modelnya. Orang dari kampung sini juga berbeda sifatnya dengan orang dari kampung sana. Enggak bisa kita pukul rata cara mengelolanya,” tukas Iver.

Iver yang berasal dari Sangihe Talaud, Sulawesi Utara, ini juga bercerita tentang watak pimpinannya. “Kalau di Adaro, pemimpinnya baik-baik saja. Mereka tidak terlalu menekan kami, seperti mereka sudah tahu kondisi. Kalau mengecek masalah produksi atau teknis memang sudah tugas mereka, kan. Paling-paling bos selalu minta produksi naik setiap kali mengakhiri rapat, dan ini wajar-wajar saja, ya, memang harus seperti itu. Penekanan-penekanan paling-paling masalah safety. Kalau untuk masalah pekerjaan, bos-bos di sini sepertinya sudah paham pekerjaan bawahannya. Kekeluargaan masih terjalin bagus di sini. Kalau bos marah karena pekerjaan, saya rasa wajar-wajar saja ya, dinamika pekerjaan, kan, pasti ada.”

Menjadi Profesional

Dalam 5 tahun masa berdirinya perusahaan, sejak 1998 hingga 2003, BUMA membangun reputasi dan kredibilitas. Situasi boleh jadi mendukung dan menguntungkan BUMA sehingga kesempatan terbuka. Namun, yang menentukan tetap saja aset paling berharga BUMA yaitu para karyawannya yang memiliki semangat pantang menyerah dan saling dukung satu sama lain. Hal inilah yang membuat semua hal dapat ditangani dengan baik ketika mereka dipercaya menangani proyek demi proyek.

Pada masa-masa itu, situasi memang cenderung mendukung Johan sebagai pendiri BUMA. Dibandingkan pemain-pemain besar yang sudah lebih dulu berkecimpung di dunia tambang, BUMA masih kalah jauh. Namun, di tengah krisis moneter yang sedang menerpa Indonesia, banyak pesaing menghadapi situasi sulit yang membuat mereka tidak dapat berinvestasi membeli peralatan baru. Padahal, pemilik tambang menghendaki produksi ditingkatkan. Kondisi itu menjadi peluang bagi BUMA untuk mendapatkan proyek-proyek baru.

Bukan hanya pesaing yang kesulitan, penyuplai alat-alat berat juga kesulitan memasarkan produknya. Mereka tidak tahu harus menjual produknya ke mana karena kontraktor-kontraktor besar tidak memiliki dana untuk belanja. Johan memanfaatkan hubungan baiknya dengan salah satu pabrikan alat berat untuk memberikan pinjaman kepadanya walaupun harga unitnya relatif lebih mahal.

Meskipun saat itu harga batubara masih belum bagus, BUMA terus menancapkan kukunya dalam industri tambang. Berbekal proyek dan alat-alat berat, BUMA sudah menjelma menjadi kontraktor besar yang siap menghadapi tuntutan pasar ketika harga batubara mulai menanjak pada 2003.

BUMA baru menangani 2 proyek pada 2001. Saat itu, karyawan BUMA masih belum terlalu banyak, hanya berkisar 800–1.000 orang. Namun, seiring dengan naiknya harga batubara, permintaan meningkat, BUMA pun melejit. Perlahan tapi pasti, BUMA berubah menjadi perusahaan yang lebih profesional. Seiring bertambahnya proyek, sumber daya manusia juga dibenahi.

Key performance indicator (KPI) tiap-tiap karyawan disusun. Pelatihan-pelatihan dilakukan dengan materi antara lain bagaimana membuka tambang dengan benar dan bagaimana mengoperasikan alat berat dengan produktif. Sejumlah manajer senior dari era kontraktor perkebunan ikut bergabung. Meski tidak memiliki latar belakang pertambangan, mereka mau belajar.

Para karyawan inilah yang menjadi keunggulan BUMA. Semangat pantang menyerah dan saling dukung antarkaryawan menjadi modal berharga yang kemudian dipoles lebih lanjut sehingga memenuhi standar profesional dalam industri tambang. Misalnya saja, untuk pembentukan mental karyawan, perusahaan bekerja sama dengan Zeni TNI AD di Bogor untuk membangun rasa percaya diri. Mengoperasikan alat-alat berat memang membutuhkan disiplin sehingga pelatihannya pun tidak main-main. Selain itu, Budikwanto menanamkan sikap pada manajer-manajer senior di kantor pusat di Jakarta bahwa mereka bukanlah “bos”, melainkan “pelayan” dari teman-teman di daerah. Oleh karena itu, Budikwanto bersikap tegas apabila ada keluhan atau permintaan dari site yang tidak dilayani dengan alasan seperti hari libur atau sedang cuti.

Tumbuhnya kepercayaan terhadap BUMA tak terlepas dari keberhasilan perusahaan membangun reputasi, baik menyangkut performa kerja maupun dukungan permodalan. Performa kerja yang bagus tentu berkat etos kerja karyawan yang sudah terbentuk sejak merupakan perusahaan kontraktor perkebunan. Dalam hal ini, tugas Budikwanto memperkuat keunggulan sumber daya manusia tersebut sehingga mereka mau bekerja lebih keras dan lebih baik lagi.

Kebutuhan untuk standardisasi dalam berbagai hal kian menguat menjelang pergantian kepemilikan. Standard operating procedure (SOP) untuk berbagai bidang mulai dirapikan sehingga ketika akhirnya kepemilikan BUMA beralih pada PT Delta Dunia Makmur Tbk sebagai perusahaan induk pada 2009, sudah jauh lebih baik. BUMA siap menyongsong era yang lebih modern dan profesional.

Etos kerja, rasa peduli, dan kecintaan telah dibentuk dari generasi awal berdirinya BUMA, termasuk bagaimana para pimpinan di masa-masa awal berusaha merasakan apa yang dirasakan para karyawan dan melakukan pendekatan antarpribadi lainnya. Meskipun metode ini memiliki kelemahan ketika perusahaan mulai tumbuh menjadi semakin profesional, cara-cara tersebut dan sejarah awal perkembangan perusahaan dinilai sebagai fondasi kuat yang tidak boleh dilupakan oleh generasi BUMA saat ini.

Generasi BUMA diharapkan pula agar memiliki integritas agar selalu dapat dipercaya dan bertanggung jawab, serta memiliki hasil nyata dari penerapan integritas tersebut, yakni terus bertumbuh menjadi insan dengan kehidupan yang senantiasa menjadi lebih baik lagi.


ke atas