Kehadiran BUMA di daerah selalu dibarengi dengan program-program CSR yang memberi kesempatan bagi warga lokal untuk ikut BERKEMBANG. Sebab, dalam prinsip kerja BUMA, perusahaan datang tak hanya untuk mengeruk batubara tapi juga menawarkan asa.

scroll kebawah

Berkembang Bersama Warga

Matahari mulai turun di sebelah barat. Sebuah LV (light vehicle) melaju dengan kecepatan sedang di lokasi yang disebut sebagai Blok 7 di site Binungan-Suaran. "Di belakang itu terdapat kampung," ujar Manager Business Support BUMA Binungan-Suaran Billy Bagus dari kursi depan sambil menunjuk ke arah sebuah bukit.

scroll kebawah

Benar saja, dalam hitungan menit, LV berbelok ke kanan. Dari areal tambang, kemudian memasuki kawasan perkampungan penduduk. Herman Mulyono dari bagian External Relations, turun untuk mengubah posisi tiang bendera.

Tempat yang dituju adalah Kampung Tumbit Dayak, Kecamatan Sambaliung, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Perjalanan ini bertujuan untuk menemui Sunarsih, tokoh masyarakat Tumbit Dayak yang juga isteri dari Jiang Bos, kepala kampung Tumbit Dayak. Perjalanan dilanjutkan melalui kawasan perkebunan kelapa sawit dan karet. Di sebuah jalur, Herman berkata, "Jalanan ini yang bikin BUMA. Ini namanya Jalan Usaha Tani."

Sunarsih sebenarnya bukan penduduk asli setempat, melainkan berasal dari Jawa Barat. Ia menikah dengan Jiang Bos, yang merupakan salah satu pemimpin adat suku Dayak Gaai di Tumbit Dayak. Pada 1992, ia ikut pindah ke Desa Tumbit Dayak. Mereka dikaruniai tiga orang putra. Yang terbesar sudah lulus dari STPDN, kini berdinas di Kecamatan Sambaliung.

Sunarsih menyambut dengan hangat. Ia juga banyak bercerita tentang kehidupan masyarakat Tumbit Dayak, beserta hubungannya dengan perusahaan tambang yang letaknya berdampingan dengan tempat tinggal mereka. Sunarsih memiliki kapabilitas yang baik perihal berbicara di depan umum. Pasalnya, ia juga pernah menjabat sebagai kepala Desa Tumbit Dayak pada periode sebelum kepemimpinan suaminya. Ternyata, sebagai yang dituakan oleh masyarakat setempat, jabatan kepala desa dipegang bergantian oleh mereka.

Dari pengalaman Sunarsih, hubungan dengan BUMA—atau yang dikenal masyarakat sebagai perusahaan tambang di blok 7—sangat baik. Masyarakat sekitar lokasi tambang merasa sangat terbantu dengan kehadiran perusahaan. Bantuan yang dirasakan masyarakat antara lain dibuatkan jalan dan sekolah. Demikian pula jika ada acara-acara besar, misalnya hari raya Kurban atau Maulid Nabi, perusahaan juga berpartisipasi.

Tumbit Dayak termasuk salah satu desa di kawasan lingkar tambang BUMA site Binungan. Desa ini dihuni lebih kurang 600 kepala keluarga dengan jumlah penduduk total sekitar 2.500 orang. Menurut orang-orang tua di kampung Tumbit Dayak, seperti diutarakan Sunarsih, kampung tersebut termasuk salah satu yang tertua di Berau. Terdapat tiga suku yang bermukim di seputar Berau, Suku Dayak Gaai bermukim di kampung Tumbit Dayak, dan di kawasan pesisir kebanyakan diisi oleh suku Bajang. Sedangkan, di perkotaan didiami suku Berau. Ketiga suku inilah yang berperan dalam mediasi antarsuku.

Pada 1995, Jiang Bos dipercaya menjadi kepala kampung di Tumbit Dayak. Tiga tahun berselang, datanglah tim dari PT Berau Coal melakukan survei untuk mencari lokasi-lokasi tempat batubara. Karena harus bermalam, mereka menginap di rumah penduduk kampung. Seingat Sunarsih, hingga tahun 2000, wilayah kampung Tumbit Dayak belum dimasuki proyek tambang. "Baru pada periode jabatan bapak yang kedua, masuklah Berau Coal di Blok 7, yang berada di seberang kampung," ujarnya.

Dari pengalaman Sunarsih, hubungan dengan BUMA—atau yang dikenal masyarakat sebagai perusahaan tambang di blok 7—sangat baik. Masyarakat sekitar lokasi tambang merasa sangat terbantu dengan kehadiran perusahaan. Bantuan yang dirasakan masyarakat antara lain dibuatkan jalan dan sekolah. Demikian pula jika ada acara-acara besar, misalnya Hari Raya Kurban atau Maulid Nabi, perusahaan juga berpartisipasi. Secara pribadi, Sunarsih menyatakan penghargaannya kepada BUMA.

"Kalau kami butuh mereka, mereka yang di Jakarta sana (para pimpinan BUMA) pasti datang," tutur Sunarsih. Hal itu, di mata Sunarsih menjadi kelebihan BUMA dibandingkan perusahaan-perusahaan lain sesama kontraktor tambang di kawasan tersebut.

Ia kurang suka apabila untuk bertemu pimpinan saja dipersulit. "Saya mau kita jadi seperti keluarga, kita mau semuanya clear, kita bisa seiring sejalan," ujar Sunarsih.

Oleh karena itu, ia sangat mengapresiasi pimpinan-pimpinan BUMA sering datang ke tempatnya. "Kami merasa dihargai," cetusnya. Hal ini karena, bagi Sunarsih saling menghormati dan menghargai itu penting.

Meskipun perusahaan memiliki peraturan, seharusnya tidak kaku untuk menuntut peraturan dilaksanakan seperti halnya di tempat lain. Padahal, peraturan tersebut tidak bisa diterapkan di tempat tersebut.

Dalam pandangan Sunarsih, hubungan masyarakat dan perusahaan saling menguntungkan. "Perusahaan membutuhkan kami dan kami juga membutuhkan perusahaan. Selama ini kerja samanya baik," ujar Sunarsih.

Namun, Sunarsih memaklumi bahwa usaha tambang tidak akan ada untuk selamanya. Untuk itu, ia berpesan agar BUMA jangan sampai meninggalkan masyarakat begitu saja. "Jangan sampai kami ditinggalkan tanah-tanah yang gundul tidak ada hasilnya," ujar Sunarsih.

Ia juga mengapresiasi pemberdayaan yang dilakukan oleh perusahaan. "Yang paling luar biasa kami rasakan adalah dalam hal menyuplai tenaga kerja," ungkap Sunarsih. Meski demikian, ia melihat ada perbedaan antara Blok 7 yang dikelola BUMA dengan blok lain dalam hal penerimaan karyawan. Menurut Sunarsih, untuk Blok 7, proses penerimaan karyawannya tidak terlalu njelimet dibandingkan dengan yang lain.

Meski kebijakan masing-masing perusahaan mungkin berbeda, tetapi menurut Sunarsih, rekrutmen karyawan adalah urusan internal perusahaan. Masyarakat tidak mau tahu akan hal itu. "Intinya, kalian kan ke sini cari untung, cari rezeki. Ya, tolong kami dipedulikan dan diperhatikan," ujar Sunarsih.

Masyarakat Tumbit Dayak dulunya mencari nafkah dengan bertani. Dengan hadirnya perusahaan tambang, masyarakat dengan mata pencaharian tersebut semakin berkurang. "Kebanyakan mereka bekerja di perusahaan," ujar Sunarsih.

Tak urung, hal itu menimbulkan rasa gundah dalam diri Sunarsih. Jika sebelumnya hampir bisa dikatakan seluruh warga adalah petani. Namun, sekarang tidak sampai separuhnya yang bertahan tetap bertani. Selebihnya, masyarakat lebih senang menjadi karyawan perusahaan. Alasannya, antara lain ada kepastian pendapatan.

“Dalam sebulan penghasilan mereka sudah dapat dipastikan sekian. Sedangkan, menjadi petani walau sudah ditunggu sampai tiga bulan hasilnya masih belum tentu dapat," tutur Sunarsih.

Beruntung, perusahaan memiliki batas usia untuk menjadi karyawan. Mereka yang sudah melewati batas usia alias pensiun bisa berkebun kembali. Hasil perkebunan seperti cokelat yang paling banyak ditanam di seputar Kampung Tumbit Dayak.

Ke depannya, Sunarsih sangat berharap kehadiran BUMA dan perusahaan-perusahaan tambang lain tidak hanya seperti obat, hadir hanya pada saat sakit atau bersifat sementara.

"Tolong dicarikan cara supaya kami ini betul-betul bisa mandiri ke depannya," harap Sunarsih. Sehingga, meskipun nantinya perusahaan sudah tidak hadir lagi di Desa Tumbit Dayak, manfaatnya masih bisa dirasakan.

Seandainya nanti masyarakat kembali berkebun setelah perusahaan hengkang dari Desa Tumbit Dayak, Sunarsih berharap agar masyarakat dapat diberikan pembinaan tentang cara berkebun yang baik. Bukan hanya menyangkut produksi tanaman kebun, tetapi juga hingga pemasaran produknya.

"Jangan sampai nanti perusahaan sudah tidak ada di tempat kami, kampung kami jadi kampung mati," ujar Sunarsih. Ia menambahkan, percuma apabila anak-anak kampung disekolahkan ke luar tinggi-tinggi, karena tidak mungkin semuanya bisa menjadi pegawai. Oleh karena itu, mereka harus dididik untuk mandiri menjadi wiraswasta.

Apa yang diutarakan Sunarsih sangat dipahami oleh BUMA. Itu sebabnya, komunitas atau masyarakat di sekitar area operasi perusahaan juga mendapat perhatian. Dalam hubungan dengan komunitas, ada tiga tahapan yang dilakukan BUMA, mulai dari knowledge, yaitu menjajaki dan menakar kondisi masyarakat; lalu engage, yaitu menjalin hubungan dengan masyarakat; hingga akhirnya develop, yaitu merancang program-program pengembangan komunitas.

Hal ini, seperti diutarakan GM HR Services & Relations BUMA Nanang Rizal Achyar, sudah tercakup dalam visi perusahaan. "Komunitas atau masyarakat sekitar adalah yang terkena dampak dari usaha perusahaan. Oleh karena itu, kita ingin membangun rasa memiliki dari masyarakat sehingga mereka tidak akan mengganggu operasional perusahaan, tetapi mendukungnya," papar Nanang.

Dalam hubungan dengan komunitas, BUMA bertumpu pada empat pilar, yaitu ekonomi; pendidikan, kesehatan, dan lingkungan; sosial budaya; dan infrastruktur. BUMA menyadari, kekuatan perusahaan akan tumbuh melalui komunitas. Adapun prinsip yang dipegang adalah bahwa program-program CSR BUMA ditujukan pada penciptaan nilai (value creation), bukannya kegiatan amal (charity). Nanang menambahkan, BUMA juga ingin setelah proyek tambang berakhir, perusahaan dapat keluar dengan meninggalkan legacy. "Jadi meninggalkan sesuatu sehingga masyarakat tidak hanya tergantung pada perusahaan," ujar Nanang. Dengan semangat itulah program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) dibuat.

Untuk mengimplementasi program-program CSR, BUMA selalu berkomunikasi dengan pemerintah setempat, dalam hal ini otoritas di tingkat kecamatan dan desa. Menurut Manager CSR BUMA Teguh Susilo, program-program CSR ditentukan setelah BUMA mendengarkan masukan dari perangkat kecamatan atau desa di lingkar tambang.

“Biasanya ada masukan-masukan sekiranya apa yang paling potensial bisa kita kembangkan di lokasi tempat tinggal warga. Kita akan bersilaturahim dulu, diskusi dengan tokoh-tokoh masyarakat, kita coba bertanya apa-apa saja yang bisa efektif kita lakukan. Ini berangkat dari pandangan mereka terhadap perusahaan,” kata Teguh.

Penyerapan tenaga kerja dari warga lokal sebenarnya juga menjadi bagian dari penerapan tanggung jawab perusahaan. “Tapi juga saya sampaikan bahwa kesempatan mendapatkan pekerjaan itu nggak melulu harus bekerja di perusahaan. Jangan memaksakan kehendak jika tidak memenuhi requirements dan segala macam, tidak bisa ‘pokoknya diterima’. Nah, hal-hal seperti ini kita imbangi dengan program-program selain rekrutmen tenaga kerja. Karena memang tidak 100 persen itu program CSR akan menjawab kebutuhan masyarakat lingkar tambang, tapi dengan program itu kita juga terbantu. Kita bisa lebih mudah berkomunikasi dan berkoordinasi,” tutur Teguh.

Pemberdayaan ekonomi masyarakat

Menjawab kekhawatiran Sunarsih, pemberdayaan ekonomi warga menjadi salah satu prioritas utama BUMA dalam mengembangkan program CSR. "Di semua site kita ingin masyarakat tidak hanya tergantung pada industri tambang," ujar Nanang. Sejumlah program yang berupa kegiatan ekonomi yang bisa menjamin kesejahteraan masyarakat pun dikembangkan. Menurut Nanang, manajemen BUMA sangat komit dalam hal ini. "Mereka tidak setengah-setengah, tetapi membantu sampai masyarakat benar-benar bisa mendapatkan penghasilan," tambahnya.

Salah satu program besar yang dilakukan di bidang ini adalah B’Fish, yaitu budidaya ikan. Pilot project program ini dilakukan di Desa Samburakat, Kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau.

Pengembangan program ini berdasarkan pengamatan terhadap masyarakat ternyata tingkat konsumsinya cukup besar, namun pasokannya sulit dan terbatas. Oleh karena itu, program CSR yang dipilih usaha perikanan, terutama lele.

Di site Lati, program yang kemudian dilakukan BUMA adalah pemberian bantuan benih ikan di Kampung Pulau Besing, Kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.

Sesuai namanya, Kampung Pulau Besing ini merupakan pulau yang terpisah dari daratan Kalimantan. Baru pada 2017 lalu dibangun jembatan permanen yang bisa dilalui kendaraan roda empat. Sebelumnya, penduduk mengalami kesulitan untuk menyeberang karena harus menggunakan ketinting.

Kepala Kampung Pulau Besing Harsono menuturkan, tanah di tempatnya tergolong rendah sehingga setiap kali air pasang naik akan terendam sehingga kurang tepat untuk bercocok tanam. Karena merupakan tempat bertemunya air tawar dan asin, air di kawasan Pulau Besing menjadi payau. Ini ideal untuk bertelurnya udang galah.

Menurut Harsono, sekitar 15 tahun ke belakang, adanya udang laut di sungai-sungai Pulau Besing dapat dinikmati masyarakat. "Masyarakat di sini sejahtera. Mereka hanya mengandalkan jala dan tangguk, sanggup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari," ujarnya saat ditemui pada 14 Maret 2018 lalu. Namun, seiring berjalannya waktu, ada yang mulai menggunakan racun sehingga potensi sungai-sungai di seputar Pulau Besing pun berkurang.

Belajar dari kondisi tersebut, timbul inisiatif di masyarakat untuk membudidayakan udang galah dari sungai ke kolam-kolam yang dibangun. "Kebetulan kami memiliki dana alokasi kampung. Pada tahun 2015, kami coba buat kolam. Ada lebih kurang 60 kolam berukuran 10 meter kali 20 meter," papar Harsono.

Sebenarnya, kata Harsono, masyarakat ingin membudidayakan udang. Namun, pertumbuhan udang sangat sensitif dan membutuhkan penanganan khusus. Itu sebabnya, untuk saat ini, kolam-kolam di Pulau Besing dimanfaatkan untuk budidaya ikan. "Ada ikan nila, ikan bawal, dan ikan mas," ujar Harsono. Untuk pembenihan ikan, pihaknya juga mendapatkan bantuan dari BUMA.

Selain itu, hal lain yang coba dikembangkan di Pulau Besing adalah wisata mangrove mengingat kawasan di seputar Pulau Besing terdapat hutan mangrove. Namun, yang ditawarkan bukanlah mangrovenya, melainkan habitat bekantan yang terdapat di dalamnya. "Bekantan ini di Pulau Besing terdapat ribuan ekor," tutur Harsono.

"Di semua site kita ingin masyarakat tidak hanya tergantung pada industri tambang," ujar Nanang. Sejumlah program yang berupa kegiatan ekonomi yang bisa menjamin kesejahteraan masyarakat pun dikembangkan. Menurut Nanang, manajemen BUMA sangat komit dalam hal ini. "Mereka tidak setengah-setengah, tetapi membantu sampai masyarakat benar-benar bisa menghasilkan duit," tambahnya.

Bekerja sama dengan salah satu lembaga swadaya masyarakat, Pulau Besing dijadikan salah satu destinasi wisata mangrove. Sejauh ini, sudah ada sejumlah tamu dari Belanda yang berkunjung. Mereka berkeliling menggunakan speedboat untuk melihat bekantan. Mereka kemudian diajak untuk mampir di kolam-kolam milik masyarakat. Di situ, mereka dapat memancing ikan, menikmati ikan bakar, dan bersantai. Untuk itu, menurut Harsono, pihaknya terus berupaya membenahi lokasi di seputar kolam.

Seperti saat ditemui, lokasi kolam yang tak jauh dari jembatan penghubung, telah tersedia shelter untuk berteduh dan fasilitas toilet. Menurut Harsono, pada akhir pekan banyak tamu yang berkunjung untuk memancing. Hadirnya jembatan yang menjadi jalan penghubung ke Pulau Besing membuat lebih banyak orang yang dapat mampir. Lokasi Pulau Besing berada pada jalan dari Berau menuju Kepulauan Derawan. Harsono berharap, dengan fasilitas yang lebih baik, akan lebih banyak wisatawan yang dapat mampir ke Pulau Besing.

Sementara itu, salah satu program yang cukup besar terkait pengembangan ekonomi warga di Binungan adalah pembenihan ikan. Bekerja sama dengan kelompok pengelolaan ikan di Kampung Inaran, dibangun sebuah sentral pembenihan ikan. "Konsep jangka panjangnya, kampung ini branding-nya nanti sebagai penghasil bibit ikan," ujar Bayu Luh Triono, yang saat diwawancara pada Maret 2018 lalu masih menjabat sebagai Manager Business Support BUMA jobsite Binungan-Suaran. Sebagai kawasan tambang yang dikelilingi 8 kampung, tantangan untuk engage dengan komunitas sekitar Binungan-Suaran cukup berat. Untuk saat ini, yang dibenihkan adalah lele dan nila. Bibit-bibit ikan ini kemudian dibeli oleh BUMA untuk dijadikan program CSR penggemukan ikan ke kampung-kampung yang lain, di antaranya di Pulau Besing.

Ke depan, apabila jumlah produksi sudah cukup besar, menurut Bayu, pihaknya akan mengajarkan sampai pengolahan ikan. Untuk lele, misalnya, bisa dijadikan abon lele, filet sirip lele, krispi sirip lele, dan lain-lain.

Selain itu, di Binungan juga terdapat pengembangan ekonomi di bidang pertanian. Bantuan yang diberikan BUMA Binungan kepada kelompok-kelompok pertanian berupa bantuan bibit, pupuk, serta edukasi tentang cara membuat kompos.

Program lain yang termasuk besar, bekerja sama dengan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Berau, yaitu membentuk program Anak Kreatif Berau dengan memberikan pelatihan hingga ke Bali untuk belajar membuat kerajinan yang baik. Dengan demikian, jelas Bayu, diharapkan di Berau lahir perajin-perajin yang baik sehingga ketika nanti banyak wisatawan berkunjung, akan terdapat hasil-hasil kerajinan yang dapat dijadikan souvenir atau oleh-oleh khas setempat.

Nanang menambahkan, selain keterampilan dasar pembuatan produk, perusahaan juga membantu dalam mengelola inventory bahan, produksi, hingga pengelolaan usaha, termasuk promosi dan pemasaran secara online.

Usaha lain pemberdayaan ekonomi masyarakat yang mendapat dukungan BUMA adalah emping singkong. Usaha ini dilakukan para ibu yang tergabung dalam Kelompok Usaha Al Aina di Desa Dahai Paringin, Balangan, Kalimantan Selatan. Seperti dapat disimak pada Minggu (8/4/2018) lalu, sejumlah ibu di antaranya Atik, Mega, Eli, Rina, Yani, dan Nisa, tampak menyiapkan oven, kompor, penggilingan, dan beberapa kilogram singkong di teras rumah yang menjadi tempat usaha mereka.

“Setelah singkong dikupas lalu dicuci bersih. Kemudian direbus sekitar satu jam. Habis itu ditumbuk lalu digiling,” ujar Atik. Setelah digiling, adonan singkong itu dibuat bulatan-bulatan sebesar ujung ibu jari tangan. Kemudian, dengan sendok makan, bulatan-bulatan tadi ditekan-tekan hingga pipih. Emping mentah ini kemudian dijemur di halaman rumah. Setelah benar-benar kering, emping singkong lalu digoreng hingga matang.

Paparan sinar matahari menjadi salah satu masalah dalam usaha ini. Untuk hasil emping yang bagus, ujar Yani, sebaiknya emping dijemur di bawah terik matahari. Namun, jika musim hujan di mana sinar matahari tak menentu, mau tak mau mereka menggunakan oven untuk pengeringan emping. Setelah matang, emping singkong ini diberi bumbu sesuai pesanan atau rencana pemasaran. Ada rasa keju, balado, hingga original. Dari sekitar 5 kilogram singkong bisa diolah menjadi 1 kilogram emping singkong matang. Proses selanjutnya adalah pengemasan. Emping singkong yang telah berasa dikemas dalam plastik masing-masing seberat 50 gram.

Untuk jumlah pesanannya sendiri, imbuh Nisa, tergantung momennya. “Jika Kabupaten Balangan sedang berulang tahun, pesanannya banyak. Atau jika ada pameran-pameran UMKM, pesanannya juga banyak.”

Kelompok Usaha Al Aina adalah usaha rumahan yang dibina BUMA site Adaro sejak 2015. Sejauh ini, ujar Mega, bentuk bantuan dari BUMA masih berupa uang pembinaan dan pembukaan akses pasar. “BUMA, kan, punya akses ke pemda-pemda, ya. Jadi, kita diajak kalau pemda menyelenggarakan pameran.”

Keuntungan yang didapat kelompok ini kemudian dibagikan kepada anggotanya secara adil. Ibu-ibu ini membuat presensi atau catatan sederhana siapa-siapa saja yang datang membantu saat Al Aina mendapat pesanan emping singkong. Daftar hadir inilah yang menjadi dasar pembagian hasil usaha mereka.

Selain memberi bantuan kepada kelompok usaha pembuatan emping singkong, BUMA juga membina Kelompok Arwana yang membudidayakan ikan dengan sistem bioflok. Seperti diketahui, beberapa waktu terakhir bioflok sedang menjadi salah satu tren budidaya ikan. Bioflok dinilai lebih efektif, hemat, dan mampu mendongkrak produktivitas panen hingga lebih dari 100 persen dalam tempo sekitar 3 bulan.

Secara singkat, sistem bioflok memanfaatkan mikroorganisme untuk mengolah limbah. Limbah ini kemudian akan menjadi gumpalan-gumpalan kecil (flok) yang kemudian akan menjadi makanan alami untuk ikan. Sistem bioflok bisa diterapkan pada kolam yang sempit dengan kapasitas ikan lebih banyak. Dengan demikian, bisa mengefisiensikan biaya produksi tapi dengan jumlah panenan yang meningkat.

Kelompok Arwana berada di daerah Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Kelompok ini mendapat bantuan permodalan dari BUMA site Adaro. Menurut Kepala Desa Tariran, Kecamatan Benua Lima, Bahran, program budidaya ikan dengan bioflok ini sedang berjalan.

“Ini kami coba ada ikan patin, itu sekitar 5.000 ekor kemarin. Yang mati sekitar 500 ekor karena mungkin kesalahan air. Tapi ini bisa kami atasi dan sisanya sampai sekarang bagus. Sedangkan di kolam ikan baung, yang mati sekitar 300 ekor. Kata orang yang memberi pelatihan, jumlah ikan yang mati ini masih wajar,” kata Bahran.

Kelompok Arwana mendapat bantuan permodalan dari BUMA sebesar Rp 25 juta. Sedangkan yang mengarahkan untuk mengembangkan budidaya ikan ini adalah bupati. “Waktu itu bupati minta agar BUMA ke desa kami. Pihak CSR BUMA lalu bilang kalau mau kolam jangan kolam terpal saja, tapi kolam bioflok. Sebab, kolam bioflok sudah terlihat hasilnya dari segi produktivitas dan efisiensi,” lanjut Bahran.

Menurut Bahran, efisiensi bioflok terlihat dari pakan. Kalau di kolam biasa, pakan bisa menghabiskan dua-tiga sak per hari, sedangkan dengan kolam bioflok pakannya hanya 12 liter sehari. Selain itu, kolam bioflok bisa dibuat di mana saja. “Nah, untuk pakan ini, nanti kalau sudah berumur 4 bulan cara pemberiannya bisa pakai rumus 5-2. Lima hari diberi makan, 2 hari puasa.”

Adapun untuk ukuran kolam ada yang berdiameter 1 meter dan 2 meter. “Yang diameter satu meter kapasitas ikannya bisa 3.000 ekor sedangkan yang diameter dua meter bisa untuk 7.000 ekor. Kemarin sesuai dana yang ada kita bikin 5.000 dulu saja. Yang penting kita lihat berhasil apa nggak,” ujarnya.

Kolam bioflok Kelompok Arwana sengaja diletakkan di kantor kepala desa sebagai percontohan warga yang saban hari datang ke sana. Saat mengurus keperluan surat-menyurat misalnya, warga bisa melihat-lihat juga kolam bioflok ini dan kemudian bertanya. Kalau ada warga yang berminat bisa dibuatkan kelompok untuk kemudian masuk dalam program bantuan BUMA yang senilai Rp 25 juta tadi. Sejauh ini sudah ada dua kelompok yang mendaftar dalam bantuan BUMA tersebut.

Bahran berharap, selain kolam bioflok, pada 2019 nanti BUMA bisa memberi bantuan untuk beternak sapi. Setidaknya untuk 10 kepala keluarga, jadi tidak berkelompok.

“Saya enggak mau per kelompok sebab kalau per kelompok nanti akan timbul iri-irian sebab dulu pernah ada CSR per kelompok tapi gagal. Tapi kalau per kepala keluarga nanti akan dibuatkan surat perjanjian agar si penerima bantuan benar-benar merawat dan memelihara sapinya. Kalau dia tidak sungguh-sungguh bahkan sampai gagal, maka dia tidak boleh mendapat bantuan lagi. Selama saya masih menjabat kepala desa, dia tidak bisa menerima bantuan lagi,” pungkas Bahran.

Selain budidaya ikan dan usaha emping singkong, usaha lain yang pernah dilakukan BUMA adalah B’Farm, yaitu usaha peternakan sapi. Sayang, usaha ini kurang berhasil, antara lain karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang manfaat ekonomis dari usaha tersebut. Seperti diutarakan Nanang, selama beberapa waktu usaha sapi perah tersebut berjalan baik, peternak menjual susu hasil perahan. Namun, belakangan, ketika ada kebutuhan mendadak, sapinya dijual sehingga usaha itu pun terhenti. Itu sebabnya, mendidik masyarakat tentang manfaat ekonomis suatu usaha juga masih menjadi tantangan tersendiri bagi BUMA dalam pelaksanaan program CSR ini.

Tingkatkan kualitas pendidikan

Untuk pilar pendidikan, Nanang mengatakan, BUMA ingin agar masyarakat di sekitar tambang "naik kelas". "Dari yang dulunya pendidikan rendah jadi meningkat," ujar Nanang. Selanjutnya, perusahaan juga mulai merekrut lulusan-lulusan terbaik dari kawasan sekitar tambang untuk menjadi karyawan BUMA.

Terdapat sejumlah program yang dilakukan di bidang pendidikan. Seperti di Binungan, program yang dilakukan antara lain BUMA Internet Goes to School berupa bantuan sambungan internet ke salah satu sekolah di seputar wilayah tambang, yaitu SMP Negeri 33 Pegat Bukur. Program ini diluncurkan pada 2016 lalu.

Derasnya arus digitalisasi dewasa ini membuat dunia pendidikan pun harus siap menyongsongnya. Tak terkecuali pada masyarakat yang berada jauh di pedalaman, seperti kawasan lingkar tambang. "Kita ingin generasi muda yang ada di lingkar tambang itu tidak ketingalan dengan teknologi informasi sehingga mereka bisa membuka internet dengan lancar," ujar Bayu.

Dengan menghadirkan koneksi internet, diharapkan para siswa bisa belajar dan melihat dunia dengan lebih mudah. Untuk program ini, Bayu menambahkan, pihaknya mengalokasikan anggaran di atas Rp 300 juta. Manfaat program semacam ini dirasakan langsung oleh para siswa. Di SMP Negeri 33 Pegat Bukur terdapat 115 siswa. Mereka berasal dari tiga kampung di sekitar sekolah, yaitu Pegat Bukur, Bena Baru, dan Inaran.

Menurut Ardi, guru SMP Negeri 33 yang mengajar komputer, penggunaan peranti digital tersebut sudah menjadi tuntutan kurikulum, terutama untuk kelas 9. Selain penggunaan e-mail dan menjelajah internet, materi pelajaran juga ada yang berbasis multimedia.

"Kita juga terkendala untuk ujian nasional yang berbasis komputer (UNBK)," ujar Ardi. Memang, di Kabupaten Berau, hanya segelintir sekolah saja yang sudah melaksanakan UNBK, selebihnya masih melaksanakan ujian nasional berbasis kertas dan pensil (UNBKP), karena terkendala sarana dan prasarana perangkat komputer.

Kebanyakan siswa, menurut Ardi, baru mengenal aplikasi komputer berbasis internet di sekolah. Kalaupun di rumah sudah memiliki komputer, belum tentu memiliki akses internet. Apalagi yang rumahnya lebih di pedalaman, malah ada yang masih terkendala ketersediaan listrik.

Di SMP Negeri 33 sendiri, pengajaran yang berbasis komputer masih terkendala masalah ruangan untuk laboratorium. Komputer yang tersedia pun masih sangat terbatas. "Jadi, belum bisa dinamakan laboratorium komputer yang permanen, hanya memanfaatkan ruangan yang ada saja, sehingga posisi duduk pun masih kurang teratur," jelas Ardi.

Di tengah keterbatasan itu, kehadiran program ‘BUMA Internet Goes to School’ dirasakan sangat membantu. Menurut Ardi, kalau mengandalkan jaringan Telkom, sementara ini belum tersedia. Layanan tersebut hanya bisa diakses oleh sekolah-sekolah yang berada di seputar kota (Tanjung Redeb). Untuk mengatasi kendala jaringan tersebut, melalui ‘BUMA Internet Goes to School’ dihadirkan solusi berupa akses internet melalui salah satu penyedia jasa telekomunikasi berbasis satelit (Patrakom). BUMA menyediakan parabola dan modem serta menanggung biaya bulanannya.

Tersedianya akses internet membuat para siswa dapat belajar dan melakukan tugas-tugas yang membutuhkan akses internet, seperti saat dikunjungi pada Maret 2018 lalu. Terdapat sekitar 20 siswa yang belajar di laboratorium komputer di bawah bimbingan Ardi.

BUMA mendorong agar penggunaan akses internet yang sudah disediakan dapat dimaksimalkan. Bukan hanya untuk proses belajar, tetapi juga untuk keperluan kantor, karena banyak data sekolah sekarang sudah on-line. Namun, menurut Ardi, pihaknya belum bisa benar-benar mengoptimalkan penggunaan akses internet karena keterbatasan orang yang mengawasinya.

"Kalau dari BUMA maunya dimaksimalkan, kalau bisa jangan dimatikan. Tetapi, kalau tidak ada yang mengawasi, kami tidak berani juga. Jadi, hanya pada jam kerja saja dimaksimalkan," ujar Ardi.

Terkait pilar pendidikan, menurut Bayu program lain yang dilakukan juga meliputi bantuan buku, insentif guru, hingga pembangunan pagar TK.

Derasnya arus digitalisasi dewasa ini membuat dunia pendidikan pun harus siap menyongsongnya. Tak terkecuali masyarakat yang berada jauh di pedalaman, seperti kawasan lingkar tambang. "Kita ingin generasi muda yang ada di lingkar tambang itu tidak ketingalan dengan teknologi informasi sehingga mereka bisa membuka internet dengan lancar," ujar Bayu.

Sementara itu, di Lati untuk bidang pendidikan salah satu program CSR yang dilakukan adalah pemberian beasiswa untuk bagi masyarakat lingkar tambang. Awalnya, beasiswa diberikan untuk siswa SD, tetapi sekarang sudah dikembangkan hingga SMA dan menurut rencana akan dikembangkan lagi hingga perguruan tinggi. Program lainnya termasuk edukasi kesehatan untuk anak-anak usia dini dan cerdas cermat.

Sebenarnya untuk bidang pendidikan, BUMA juga berkepentingan karena perusahaan membutuhkan tenaga kerja. Sedangkan untuk mendapatkan tenaga kerja siap pakai dengan keterampilan yang dibutuhkan dari kawasan lingkar tambang cukup sulit. Itu sebabnya, mau tidak mau, perusahaan mendatangkan tenaga kerja dari luar. Padahal, hal itu berpotensi menimbulkan kecemburuan dari masyarakat lokal.

Untuk mengatasi hal tersebut, BUMA mengadakan program pelatihan untuk mendidik orang-orang di lingkar tambang yang tadinya tidak memiliki keahlian itu menjadi ahli. "Kita memberikan program basic operator (BO), basic mekanik (BM), dan basic administrasi (BA) sehingga setelah mereka lulus dari pelatihan yang kita berikan, mereka bisa menjadi tenaga skill," ujar Bayu. Ia menambahkan, sejauh ini BUMA telah merekrut para lulusan terbaik di masing-masing kampung.

Dengan merekrut para lulusan terbaik, diharapkan masyarakat akan merasa diperhatikan. Hal itu juga menjadi stimulus bagi para generasi muda kampung untuk terpacu dan bangga bisa diterima pada program BOBMBA BUMA. Apalagi, Bayu menambahkan, anggaran untuk program tersebut termasuk besar, bisa mencapai Rp 100 juta per orang, karena diberikan pelatihan sampai ke Balikpapan.

Masih dalam pilar ini, program lain yang dilakukan menyangkut kesehatan dan gizi. Untuk hal ini, di site Binungan yang dilakukan antara lain ialah, kegiatan pemberian makanan tambahan (PMT) yang dilakukan sebulan sekali. Bersamaan dengan kegiatan rutin pos pelayanan terpadu (posyandu).

Menurut menurut Herman Mulyono dari bagian External Relations BUMA jobsite Binungan-Suaran, kegiatan PMT dilakukan di delapan kampung yang berada di lingkar tambang. Makanan tambahan yang diberikan tergantung tergantung kebutuhan menurut kader posyandu setempat. "Rata-rata diberikan susu, ada pula yang diberikan tambahan kacang ijo," ujar Herman.

Menurut Ketua Posyandu Kampung Pegat Bukur Sri Wahyuni, kegiatan posyandu yang rutin dilakukan di tempatnya sesuai program pemerintah berupa timbang badan dan pembagian vitamin A pada bulan Februari dan Agustus. Selain itu, dilakukan juga pemberian makanan tambahan yang didukung oleh program CSR BUMA.

Di Pegat Bukur terdapat dua posyandu. Di posyandu yang diketuai Sri Wahyuni, yang berasal dari RT 3, 5, dan 6, terdata ada 109 anak balita. Rata-rata yang mengikuti kegiatan posyandu setiap bulannya sekitar 70 anak. "Namun, kalau ada pembagian vitamin dan makanan tambahan biasanya hadir semua," papar Sri Wahyuni.

Sejauh ini, kondisi kesehatan balita di posyandu Pegat Bukur relatif baik. Tidak ada yang termasuk kategori gizi buruk atau di bawah garis merah (BGM) menurut acuan pada kartu menuju sehat (KMS). Mayoritas berada pada garis hijau alias sehat. Memang ada yang kurang gizi, yaitu yang berada di garis kuning. Jumlahnya turun naik, berkisar 10 orang. Meski demikian, terang Sri Wahyuni, ketika dikonsultasikan ke petugas kesehatan, anak-anak tersebut masih sehat, hanya saja perawakannya memang kecil dan sedikit kurang makan. Mereka inilah yang membutuhkan asupan gizi tambahan berupa susu.

Tak hanya bantuan makanan tambahan, BUMA juga memberikan bantuan sesuai kebutuhan posyandu setempat. Seperti yang dilakukan pada Maret 2018 lalu, selain susu, juga diberikan bantuan berupa sarung untuk ayunan. Selain itu, BUMA juga memiliki klinik di Suaran yang dapat digunakan oleh masyarakat. "Jadi, kalau mereka sakit, bisa datang ke klinik kita," ujar Bayu.

Sementara itu, untuk pilar sosial budaya, BUMA juga memfasilitasi dan berkolaborasi untuk pengembangan budaya di Berau. Melalui program CSR, BUMA mendukung pesta-pesta atau perayaan adat, antara lain panen madu, osap lesung, oma aba, oma baya, batu bual, hingga berkontribusi pada hari ulang tahun Kabupaten Berau.

Sedangkan untuk pilar infrastruktur, BUMA telah melakukan antara lain pengadaan tempat pembuangan sampah akhir di Desa Sambakungan dan pembangunan akses jalan di Desa Merancang Ilir, keduanya di Kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau, juga jalan usaha tani di Desa Tumbit Dayak, Kecamatan Sambaliung, Kabupaten Berau.

"Dengan hadirnya jalan ini, petani-petani di kampung menjadi lebih mudah menjual hasil panen buminya," papar Bayu. Ia menambahkan, pihaknya juga pernah membantu membuatkan penampung air serta penyediaan solar untuk pengadaan air bersih.

Pengakuan Warga

Terlepas masih adanya sejumlah pihak yang merasa tidak puas atas sumbangsih CSR BUMA, tak sedikit pula pengakuan dari masyarakat di sekitar lokasi penambangan yang menyatakan kegembiraannya. Perangkat desa di sekitar site SDJ contohnya, memberikan pandangannya.

Lurah Sebamban Baru, Kalimantan Selatan, Syaifullah, mengungkapkan bahwa selama ini kerja sama dengan BUMA sudah berjalan dengan sangat baik. Bahkan ia mengaku sudah akrab dengan orang-orang BUMA sejak sebelum menjabat sebagai lurah.

“Dulu kita di BUMDAIS, kenal sama Pak Budi (Budi Utomo). Alhamdulillah selama ini BUMA kerja sama sangat baik,” ujarnya.

Bentuk partisipasi BUMA kepada masyarakat lingkar tambang, lanjut Syaifullah, cukup banyak. Mulai dari bantuan untuk posyandu-posyandu, bangunan madrasah, hingga pembuatan sumur bor. Ke depan, rencananya akan ada bantuan sapi untuk warga yang tidak bekerja di tambang.

“Bantuan sapi tadi untuk warga kita secara berkelompok. Warga kita juga ada yang mendapat pelatihan di BUMA untuk menjadi operator. Eratlah hubungan kita dengan BUMA, jadi kita bukan mengada-ngada, sesuailah dengan fakta dan bukti ada,” ujar Syaifullah.

Hal senada diutarakan Camat Angsana Wahono. Menurutnya, BUMA hadir di wilayah ini pada 2015. Begitu BUMA akan melaksanakan pekerjaan penambangan, BUMA melakukan koordinasi dengan kecamatan dan seluruh kepala desa terkait rencana rekrutmen tenaga kerja.

“Sampai proses perekrutan tetap bekerja sama dengan kita. Sehingga dengan rekrutmen, BUMA bisa memulai pekerjaaan. Ini bagian kerja sama awal BUMA dengan masyarakat sekitarnya,” kata Wahono.

Warga Kecamatan Angsana menjadi yang paling banyak bekerja di BUMA. Wahono mengakui bahwa perusahaan seperti BUMA tetap terikat dengan ketentuan ketenagakerjaan. Jika kebutuhan karyawan terkait skill tentu harus sesuai kriteria.

“Untuk skill-skill tertentu, BUMA mencari warga lokal terlebih dulu. Jika dari yang lokal ini tidak terpenuhi baru ambil dari luar. Karena terkait skill memang tidak bisa dipaksakan mengingat adanya risiko pekerjaan. Misalnya operator alat berat. Tapi tetap urutannya dicari dulu warga lokal. Ini sudah sesuai dengan aturan ketenagakerjaan,” terang Wahono.

Sumbangsih BUMA juga dirasakan oleh warga yang masuk kategori angkatan kerja baru. BUMA, imbuh Wahono, sudah 2 periode ini mengadakan pendidikan mekanik dan operator bagi warga Angsana. Kepedulian bagi masyarakat lingkar tambang ini juga menyentuh infrastruktur, kebudayaan, dan kesehatan.

Terlepas masih adanya sejumlah pihak yang merasa tidak puas atas sumbangsih CSR BUMA, tak sedikit pula pengakuan dari masyarakat di sekitar lokasi penambangan yang menyatakan kegembiraannya. Perangkat desa di sekitar site SDJ contohnya, memberikan pandangannya. Lurah Sebamban Baru, Kalimantan Selatan, Syaifullah, mengungkapkan bahwa selama ini kerja sama dengan BUMA sudah berjalan dengan sangat baik. Bahkan ia mengaku sudah akrab dengan orang-orang BUMA sejak sebelum menjabat sebagai lurah.

Untuk infrastruktur, BUMA memberi bantuan untuk pembangunan salah satu jembatan. Sedangkan untuk masalah kesehatan, BUMA membantu dalam pembangunan instalasi air bersih dan air minum.

“Terkait kebudayaan memang warga kita ini sebagian besar adalah transmigran dulunya, jadi kita membawa budaya asal. Nah, BUMA turut membantu melestarikan kesenian kuda lumping,” terang Wahono.

Memang, sejauh ini masih ada LSM yang menyuarakan kritiknya terhadap BUMA di site SDJ, tapi menurut Wahono, hal ini lebih disebabkan karena pihak LSM belum mengetahui secara menyeluruh apa-apa saja yang telah diberikan BUMA kepada masyarakat lingkar tambang. Seperti instalasi air bersih dan sanitasi, BUMA dinilai Wahono telah memberi persentase lebih.

Di Kecamatan Angsana terdapat 9 desa. Setiap desa ada warganya yang bekerja di BUMA. Jadi, rekrutmen tenaga kerja telah dilakukan BUMA secara merata. Bahkan, kata Wahono, ada desa yang sebenarnya tidak termasuk kalau dihitung dari lingkar tambang, tapi BUMA tetap memberi perhatian dengan berkontribusi, semisal perekrutan karyawan.

“Yang saya dengar, dari sisi pendapatan, warga yang bekerja di BUMA katanya lebih tinggi, mungkin sesuai dengan risikonya. Dibanding dengan warga yang bekerja di kebun memang jauh. Selain itu, perputaran rupiah di sini juga tambah tinggi sebab warga bisa buka warung atau rumah kontrakan. Tanggal-tanggal gajian antrean ATM sekarang jadi panjang,” ujar Wahono.

BUMA juga berkontribusi pada kawasan wisata Pantai Angsana dalam hal penambahan fasilitas wisatawan. Meski BUMA telah banyak melakukan realisasi CSR-nya, Wahono tetap mengajukan harapan pada BUMA.

“Terutama dengan kondisi keuangan pemda yang menurun. Ini disebabkan aturan. Artinya, dulu saat pertambangan belum dialihkan ke provinsi, ada yang namanya sumbangan pihak ketiga, sekarang tidak ada lagi karena sudah ranahnya provinsi. Dari sektor kehutanan dan kelautan juga demikian, dulu kabupaten bisa memungut sekarang hanya provinsi. Sehingga APBD kita jadi agak kurang. Sumbangsih BUMA dari program CSR menjadi sangat penting,” ungkap Wahono.

Wahono berharap BUMA lebih banyak membantu di bidang peningkatan pendidikan (kapasitas guru) dan sarana. Pasalnya, setiap tahun angkatan kerja semakin banyak, terutama warga yang lulus SMA/SMK atau yang sederajat. Bagi warga yang mampu, mereka biasanya akan melanjutkan kuliah, adapun warga yang kurang mampu umumnya akan langsung mencari pekerjaan. Program yang memberi keterampilan untuk angkatan kerja baru ini dinilai Wahono menjadi sesuatu yang penting.

Meski sudah berupaya memberi kontribusi positif bagi masyarakat, terkadang masih ada pihak yang beranggapan bahwa proyek pertambangan adalah sumber uang. Dengan mempekerjakan begitu banyak orang, melibatkan ratusan peralatan berat dan canggih, hingga pemberian fasilitas-fasilitas yang menunjang kesejahteraan karyawan, membuat banyak pihak menarik kesimpulan bahwa proyek penambangan selalu menyimpan anggaran yang amat besar.

Itulah sebabnya, warga di sekitar proyek penambangan turut mencoba ikut merengkuh peruntungan. Sebenarnya, ini sah-sah saja jika warga menggunakan cara yang legal, semisal mendaftar menjadi karyawan atau membangun kontrakan bagi karyawan. Namun, yang lebih sering terjadi adalah sejumlah oknum warga dan kelompoknya mencoba mengais rezeki dengan cara-cara yang sesungguhnya melanggar hukum.

BUMA sudah sering menghadapi ulah oknum-oknum warga sekitar tambang yang meminta bantuan dengan cara memaksa, bahkan memakai praktik premanisme. Namun, “menjinakkan” preman-preman lokal ini bukanlah hal mustahil, salah satunya dengan “memegang” patron atau pentolan mereka.

Nunup Walehano, Foreman External Relation BUMA di site Adaro, adalah warga asli Kalimantan dari Suku Dayak. Ia bergabung bersama BUMA sekitar 3 tahun lalu. Meski demikian, Nunup dulunya adalah labour supply yang jasanya banyak dipakai BUMA, sehingga wajar jika untuk urusan ancaman dan preman lokal, Nunup banyak menyimpan cerita.

“Mereka datang meminta kerjaan atau meminta program. Kalau kemarin yang di 70 itu malah mengajukan proposal tapi, kan, proposal masih perlu diseleksi juga. Perusahaan sudah mencoba memberi informasi secara baik-baik, eh, mereka malah ngotot sambil bilang berapa banyak bapak berani bayar proposal ini. Akhirnya, mereka ngancam-ngancam bawa preman. Mereka ngancam mau bikin rame, mau nutup BUMA. Eh, kok, malah kebetulan premannya yang dibawa kenal dengan kami. Malah premannya yang balik membela saya,” kata Nunup.

Nunup memang mengenal sejumlah pentolan preman. Ia mengaku bisa mengenal mereka melalui saudaranya yang juga mantan preman. Saudara Nunup itu menjadi salah satu “jawara” yang punya pengaruh.

“Dulu pas BUMA masih punya hauling itu, kalau demo-demo nutup jalur, unit kita tetap bisa lolos. Yang ketahan biasanya unit punya perusahaan ‘tetangga’. Kita kenal dengan preman-preman di sana,” ujar Nunup.

Namun, yang menantang adalah ketika preman-preman itu mencoba malak dengan mengajak warga sekampung. Nunup bercerita, pada 2010, ada kejadian yang cukup berisiko, yakni sekelompok warga desa mendatangi site dengan membawa mandau. Mau tak mau, perusahaan meminta bantuan aparat keamanan. Polisi pun mengirimkan Brimob lengkap dengan kendaraan water canon-nya. Yang lebih parah, ada warga yang membawa pistol.

"Mereka mencari saya. Pak Nup mana, Pak Nup mana, katanya. Mereka tidak tahu bahwa saya juga satu suku dengan mereka. Mereka datang minta pekerjaan tapi dengan standar gaji versi mereka. Kan, tidak bisa seperti itu,” ujar Nunup.

Jalan tengahnya, lanjut Nunup, pimpinan demo dipekerjakan untuk urusan lokal, yakni menjadi petugas jaga malam. “Sebenarnya saat mendekati mereka, saya tidak memakai trik khusus, hanya saya ajak ngobrol-ngobrol saja.”

Permintaan preman-preman di sekitar tambang, imbuh Nunup, juga tak melulu uang. Mereka dulu sering minta drum bekas. Jumlah sekali minta satu-dua drum ditambah “uang rokok”. Drum itu kemudian mereka jual lagi. “Kalau sudah dikasih, mereka itu biasanya menahan jika akan ada demo. Mereka biasanya nelpon bilang, ‘Pak, demonya sudah saya tahan.’”

Soal permintaan drum itu, sekarang sudah tidak ada lagi. Terakhir BUMA menolak permintaan tersebut dan tidak ada reaksi dari para preman.

Nunup juga pernah menghadapi warga yang meminta denda adat. Ini tak kalah pelik, sebab denda yang diminta bisa mencapai ratusan juta rupiah. Bagi Nunup, permintaan sebesar itu tanpa adanya bukti jelas tak masuk akal.

“Orang Dayak itu paling minta dendanya ayam atau babi, sudah itu saja. Kecuali jika perusahaan melanggar memang harus bayar denda adat. Misalnya, ada kampung yang sedang menyelenggarakan upacara memberi makan arwah. Nah, itu memang nggak boleh ada keramaian, jadi seperti Nyepi di Bali. Tidak boleh kerja, tidak boleh motong hewan. Dulu, perusahaan nggak sengaja melanggar. Denda adatnya adalah mengganti biaya upacara yang sudah dikeluarkan, sebab ritual ini harus diulang,” jelas Nunup.

Untuk denda yang memang terbukti atas adanya pelanggaran, sebenarnya masih masuk akal sebab upacara adat menjadi bagian dari local wisdom yang mesti dihormati. Denda inipun seharusnya juga diminta secara baik-baik. Selain mengganti biaya upacara, denda adat juga bisa berupa pembersihan kampung.

Apa yang dialami Nunup diamini oleh Budi Utomo yang bekerja di site SDJ. Budi adalah External Relation Advisor. Menurutnya, proyek-proyek pertambangan memang acap menjadi incaran preman-preman lokal. Budi mengaku bahwa ia sebenarnya anggota pasukan khusus TNI yang dikaryakan untuk mengawal proyek pertambangan, sebab ini menjadi obyek vital negara.

“Demo-demo itu biasa di tambang. Sering juga membawa senjata tajam, parang. Tapi itu bisa ditangani, tinggal bagaimana kita ajak komunikasi pentolan-pentolan-nya,” tutup Budi.

Program-program CSR BUMA bertujuan memberi kesempatan bagi warga lokal untuk ikut berkembang. BUMA ibarat memberikan kail, bukan memberikan ikan. Program-program CSR yang dilakukan bertujuan agar masyarakat dapat terus memiliki kehidupan yang layak setelah perusahaan tambang tidak lagi beroperasi. Hal ini akan menjadi warisan yang terus hidup, walaupun operasi tambang BUMA telah selesai.


ke atas