Secara teknis, setiap tambang memiliki tingkat kesulitan yang berbeda dengan site lain, mulai dari model batuannya, lapisan batubaranya, hingga kedalaman tambangnya.
Kedalaman tambang Kideco secara total mencapai minus 220 meter di bawah permukaan laut. Di pit M dan pit B, titik terdalam sudah mencapai minus 120 meter. Yusvian Pakiding, Supervisor PIT Control BUMA di tambang Kideco, memberi sedikit gambaran. Di site lain, area batubaranya relatif landai, kemiringannya sekitar 30 derajat. Sementara itu, di Kideco bervariasi, ada yang landai, ada juga yang miringnya mencapai 70 derajat sehingga ruang bagi unit untuk bermanuver menjadi sangat terbatas. Di jobsite Kideco juga terdapat banyak lorong yang membuat waktu pengerukan dan pemuatan batubara maupun disposal menjadi lebih panjang.
Kondisi yang cukup menantang itu menjadi pemantik ide dan semangat tim di divisi teknis. Rezza MH, Chief Survey BUMA di Kideco, mengamini apa yang diungkap oleh Yusvian. Area batubara yang tegak cenderung mendatangkan banyak kesulitan. Oleh sebab itu, harus ada improvisasi untuk menanganinya.
“Sejauh apa kita bisa melakukan improvisasi sebenarnya tidak ada batasannya, yang penting bisa efektif dan efesien. Kuncinya di situ. Kita, kan, punya target dengan kondisi yang ada. Kita ditantang apa yang bisa kita lakukan untuk mencapai target. Tentunya targetnya tercapai dengan lebih efektif dan lebih efesien, bukan menambah cost lagi,” timpal Salmani, Foreman Drill and Blasting BUMA di Kideco. Improvisasi yang dilakukan juga harus terukur. Sebelum menerapkan improvisasi itu, mereka membuat analisis secara komprehensif dulu.
Improvisasi yang muncul di lapangan selanjutnya akan didalami apakah bisa menjadi bentu inovasi. Jika dinilai bagus, ide-ide inovatif ini akan diangkat ke level nasional dalam suatu kompetisi yang digelar oleh internal BUMA dan tak menutup kemungkinan diikutsertakan pada lomba umum.
“Semenjak saya bergabung di BUMA ini banyak keuntungan, termasuk ilmu yang kita dapat. Ada banyak pekerjaan sekaligus banyak teman yang membantu membuat rencana ke depan. Banyak yang kita pelajari, apalagi kita di engineering. Di engineering kan ada tim survei, tim kontrol, sehingga kita satu tim bisa bekerja sama. Ada kesempatan untuk bertukar pikiran dalam memecahkan suatu masalah,” imbuh Rezza.
Bertukar pikiran atau berbagi ide inovasi membutuhkan situasi keterbukaan. Bagi manajemen BUMA, tantangan terbesar di tambang Kideco adalah bagaimana menumbuhkan iklim keterbukaan. BUMA ingin terbuka dengan karyawan dan pemilik tambang. Di tataran karyawan BUMA, kegiatan JOSHE bisa menjadi sarana keterbukaan itu. Adapun di ranah hubungan dengan pemilik tambang, penempatan orang-orang BUMA yang tepat atau cakap dalam melakukan “seni” berkomunikasi bisa menjadi jawabannya.
Kedalaman tambang mencapai minus ratusan meter juga berdampak pada teknis pemompaan air. Pompa di tambang Kideco mau tak mau harus bertingkat atau ditandem. Dari dasar tambang, air akan dipompa agar naik ke area lebih tinggi, kemudian oleh pompa di bagian tengah tambang didorong lagi menuju permukaan tambang. Dari permukaan, air kemudian dipompa lagi agar mengalir ke penampungan.
Itu baru soal memompa air. Belum lagi hal-hal teknis di bidang lainnya yang cukup riskan, semisal menjaga tanggul di permukaan tambang agar tidak jebol saat musim penghujan. Tanggul ini menjadi semacam benteng yang memisahkan tambang dengan sungai yang hanya berjarak beberapa meter. Artinya, dalam kondisi ini BUMA memang harus mengelola pekerjaan sebaik mungkin.
Jobsite BUMA di daerah lain juga memiliki kekhasan. Sebut saja di SDJ yang kondisi materialnya cenderung lembek (soft), ketersediaan disposal dari pemilik tambang yang terbatas, dan BUMA harus mengerjakan tiga konsesi yang berbeda (pit SDJ, AJE, dan TBR). Selain itu, kondisi coal hauling road sangat bergantung pada perusahaan pemilik jalan dalam hal perawatannya. Bayangkan saja, jalan ini saban hari dilindas sekitar 900 unit dari beberapa kontraktor tambang sehingga wajar jika rawan rusak dan memiliki potensi insiden yang tinggi.
Tambang Adaro juga punya tantangan yang unik, yakni lokasi tambangnya dekat dengan permukiman warga, bahkan jarak tambang dengan perkampungan hanya sekitar 1 kilometer. Jadi, para engineer BUMA harus benar-benar menjaga jangan sampai ada dampak negatif tambang terhadap warga.
Semisal, saat pelaksanaan peledakan biasanya akan menimbulkan getaran sehingga perlu improvisasi. Para engineer BUMA di Adaro berhasil melakukan berbagai upaya perbaikan agar getaran ledakan bisa dikendalikan sehingga tidak berimbas negatif.
Mengelola tambang dengan kekayaan karakter seperti Kideco jelas membutuhkan sosok pemimpan yang mumpuni. Tak sekadar terampil menghitung capaian target atau mengendus efektivitas pengoperasian unit, tetapi juga cakap dalam memberi arah kinerja seluruh karyawan dan memiliki jiwa “seni” berorganisasi.
Ruangan seukuran separuh lapangan voli itu terasa senyap. Di sudut ruangan, duduk Advisor Business Unit BUMA di tambang Kideco. Namanya, Iwan. Pembawaannya cukup tenang, bahkan lebih mengesankan seperti sosok yang tak banyak bicara. Namun, pendaran aura air mukanya memberi isyarat betapa ia sudah makan asam garam soal pertambangan.
Iwan, Advisor Business Unit tambang Kideco BUMA
Ia membuka kisahnya dengan situasi yang terjadi pada proyek BUMA di site Gunung Bayan, Kutai Barat. Di site ini, pemilik memberi nilai merah bagi kinerja BUMA. Sekitar tahun 2010, BUMA menugaskan Iwan untuk memperbaiki dan mengelola site ini. Ia mengenal beberapa karyawan yang sudah bertugas di sana, tetapi tak sedikit juga karyawan yang belum dikenalnya.
“Kondisinya, owner menganggap kita jelek. Teman-teman di sana bahkan sudah merasa mereka akan ‘habis’ dan tidak akan diperpanjang lagi kontraknya,” aku Iwan.
Namun, Iwan tak lantas angkat tangan. Ia lalu memilah-milah persoalan di tempat itu sembari menyalakan lagi semangat karyawan yang hampir padam. Ia bimbing seluruh karyawan di sana untuk membuktikan kepada pemilik tambang, karyawan BUMA tidak pantang menyerah dan tak seperti anggapan selama ini.
Usaha Iwan bersama timnya menghasilkan capaian yang signifikan. “Kontrak yang sebenarnya mau habis satu tahun lagi, ternyata kita ditawari kontrak baru kembali oleh pemilik tambang. Akhirnya kita perpanjang 5 tahun lagi. Saya sesungguhnya sudah merasa nyaman di sana,” ujarnya.
Pada 2013, saat Iwan menikmati cutinya, ia mendapat telepon dari Jakarta. Bisa ditebak, lewat telepon itu ia diminta untuk bergeser ke site lain, Kideco. Saat itu, kondisi BUMA di Kideco “sebelas-dua belas” dengan Gunung Bayan pada 2010. Kinerja BUMA di tambang Kideco dinilai minus oleh pemilik tambang.
Target produksi BUMA di Kideco, saat itu, tidak tercapai. Di jajaran karyawan juga banyak masalah. Kalau tidak salah ada beberapa manajer waktu itu. Tiap-tiap manajer lantas berkomitmen untuk memperbaiki kinerja di Kideco. Butuh waktu sekitar 1,5 tahun untuk mengubah situasi di Kideco. Pada 2016, kami berhasil meningkatkan kinerja dan melebihi target produksi yang dibebankan owner,” kenang Iwan.
Iwan melanjutkan, yang namanya kerja di tambang memang situasinya bermacam-macam. Tantangan hanya akan berhasil dihadapi jika seluruh karyawan bekerja sebagai tim, harus sinergis. Kalau sejak awal tim ini terpecah-pecah, hampir pasti seluruh rencana kerja di tambang akan gagal.
“Kita harus bekerja sama. Salah satu yang utama di dunia tambang adalah produksi. Kalau kita kerja dengan benar, safety-nya aman, produksi pun akan tercapai. Intinya mulai dari situ saya galang setiap departemen. Kalau memang ada orang yang tidak mau bekerja sama, terpaksa kita mutasi ke tempat lain. Akhirnya, tim ini bisa menjadi tim yang baik karena memang karakteristik tambang di Kideco ini berbeda dengan tambang yang lainnya,” kenang Iwan.
Untuk mengelola site Kideco memang membutuhkan orang yang memiliki jiwa “seni” berorganisasi atau setidaknya memahami seluk-beluk perilaku manusia. Seni di sini bisa mewujud dalam rupa jalinan komunikasi dengan pemilik tambang. Pimpinan proyek di Kideco harus terampil menjembatani keinginan dan kebutuhan pemilik tambang. Setiap pemilik tambang mempunyai budaya, cara berkomunikasi, cara kerja, dan karakter tersendiri yang mesti dipahami oleh manajemen BUMA.
Kebiasaan pemilik tambang Kideco, misalnya, pukul 5.30 sudah berkeliling site, meninjau langsung pekerjaan para karyawan. Kemudian, pukul 6 petang, mereka berkeliling lagi di area tambang. Pemilik tambang juga tak segan bertanya langsung kepada karyawan yang sedang bekerja. Dengan kultur seperti ini, amat lumrah jika pemilik mengetahui persis kondisi lapangan. Oleh sebab itu, karyawan BUMA harus mampu mengimbanginya.
Tambang Kideco juga memiliki tantangan lain. Di Kideco, para penambang BUMA sering menghadapi lumpur warna, maksudnya material jelek yang meluncur dari mulut tambang akibat guyuran hujan. Lumpur ini sering mengalir deras ke dasar tambang yang mau tak mau harus diangkat lagi untuk dibuang. Akibatnya, diperlukan banyak pompa dan tentu saja ekstra tenaga. Tantangan ini masih diperberat dengan kedalaman tambang yang minus ratusan meter dari permukaan tanah.
Oleh sebab itu, untuk menangani tantangan yang datang dari faktor manusia dan alam, manajemen BUMA di Kideco harus memainkan seni dan meracik strategi yang sesuai. Jika manajemen BUMA sudah mengerti karakter pemilik tambang, akan mampu menjabarkannya kepada karyawan di level bawah. Di BUMA, seluruh komponen karyawan-dari level operator hingga manajemen harus siap menerima berbagai permintaan dan menghadapi kebutuhan klien yang dinamis.
Untuk memastikan karyawan telah bekerja sebagaimana mestinya, BUMA memiliki buku yang disebut PKB (Perjanjian Kerja Bersama). Buku ini mengatur kewajiban perusahaan kepada karyawan dan kewajiban karyawan kepada perusahaan. PKB diperbarui setiap dua tahun sekali guna menjadi pegangan manajemen dalam mengelola karyawan. BUMA juga senantiasa mengelola karyawan sesuai dengan UU yang berlaku di Indonesia.
Sampai sekarang pun, terang Iwan, BUMA tetap berusaha menegakkan aturan kerja tanpa pilih kasih. Di BUMA, sistem hubungan antarkaryawan dan pimpinan dengan karyawan setiap tahun terus ditingkatkan demi merawat aset terbesar perusahaan, yakni manusia.