Saat itu, perusahaan ini menggarap proyek perkebunan di Singkil, Aceh. Dalam kurun waktu 30 tahun itu, ada begitu banyak hal yang berubah, tetapi ada juga yang tetap dijaga agar bertahan dan selalu konsisten.
Hal yang tidak berubah dari generasi awal BUMA hingga saat ini ialah pelajaran mengenai integritas. Sejak awal bergabung hingga pengujung masa berkaryanya saat ini, Iwan merasa selalu dituntun pada jalur integritas. Dulu dan sekarang, tuntutan agar setiap karyawan punya integritas tidak pernah berubah. Kalau karyawan telah bekerja dengan baik, mereka akan mendapat apresiasi melalui prosedur resmi, dan karyawan pun akan menerima pendapatan lebih. Bukan menerima uang dari “kiri-kanan” atau dari praktik kerja yang tak jujur.
Selain budaya integritas itu, kecintaan karyawan—terutama karyawan senior—terhadap BUMA tampak dari kesiapan mereka untuk kembali membantu perusahaan meski mereka sudah memasuki masa pensiun. Seolah telah terbangun hubungan emosional antara karyawan senior dan BUMA.
Itu sebabnya, tatkala BOD BUMA yang diwakili oleh Direktur HRGA & Plant Indra Kanoena meminta Iwan untuk membantu membimbing karyawan-karyawan yang muda, ia tak keberatan. “Saya bilang kalau saya sehat-sehat saja dan keluarga mengizinkan, saya akan lanjut. Akhirnya saya pulang dan mengobrol dengan keluarga dan akhirnya ya baiklah kita lanjut saja.”
Menyinggung sekilas tentang kondisi BUMA saat masih berupa perusahaan keluarga, Manager Business Support BUMA di Sungai Danau Jaya (SDJ) Kusumo Wicaksono bercerita, saat itu, terdapat orang-orang atau teman-teman yang diakui sebagai key person. Mereka umumnya keluarga kaya yang menempati posisi project manager.
“Itu dulu kami sebut sebagai ‘kaisar’. Jadi, key person ini ibarat memiliki kerajaan kecil yang mempunyai kantong kanan dan kiri yang dia bebas melakukan apa saja.” sebutnya.
Setelah BUMA diambil alih oleh PT Delta Dunia Makmur Tbk pada 2009, perusahaan ini menjadi lebih profesional dan lebih transparan. Profesionalisme dan transparansi ini kemudian menjadi dua faktor yang turut merawat budaya integritas di kalangan karyawan BUMA.
Dengan akses informasi yang lebih transparan saat ini, karyawan terbantu untuk “membawa” dirinya menjadi pribadi yang lebih baik. Contohnya sederhana, karyawan dapat mengetahui sistem penilaian kerjanya saat ini. Jika karyawan sungguh-sungguh menjaga profesionalisme dan integritasnya dalam bekerja, ia akan mendapat nilai bagus. Nilai yang bagus ini kemudian akan dikonversi menjadi bonus. Begitu pula sebaliknya, jika seorang karyawan belum mendapat nilai kinerja yang oke, ia tahu hal-hal apa saja yang perlu dibenahi secara pribadi.
“Dulu saya dapat nilai apa saya tidak tahu. Di akhir tahun, kami tahunya ada bonus gitu saja. Dasarnya apa kita tidak mengerti. Sekarang sudah diperbaiki, komunikasinya jelas, key performance jelas saya dapat A, B, atau C ada dasarnya,” ujar Kusumo yang sudah bekerja di BUMA sejak 14 tahun silam.
Kejadian-kejadian menantang dan cenderung menegangkan seolah menjadi santapan rutin para pekerja tambang. Bukan sekadar berhubungan dengan hal-hal teknis penambangan saja, tetapi menyangkut hubungan antarmanusia yang bisa jadi dilandasi prasangka.
Mining Manager BUMA di Kideco Tri Putra Anggono—saat itu masih menjabat superintendent production—membagi kisah yang pernah ia alami selama bekerja di bidang pertambangan. “Ketika saya berdinas di Gunung Bayan, saya ingin meluruskan dan menertibkan aturan. Rupanya ada orang-orang yang mengaku warga lokal dan agak sulit diatur. Sampai saya dipalang (dihalangi) dari unit. Saat itu, BUMA masih berbasis sistem kekeluargaan.”
Putra mengaku sempat dicengkeram kerah bajunya. Namun, persoalan itu akhirnya bisa selesai di situ juga. “Dia lalu melepaskan dan mendengarkan saya. Kemudian saya bilang, kalau kamu mau jadi pengawas, bukan seperti ini caranya. Kamu harus bekerja dengan benar. Kamu ikuti MOP (Monthly Operator Performance). Bagaimana kehadirannya, bagaimana jam terbang membawa alatnya. Dan, itu semua ada nilainya. Apabila rapornya bagus selama 2 tahun berturut-turut dan dia berkontribusi aktif, dia pasti akan di-assess untuk menjadi seorang foreman.”
Di Kideco, Putra juga pernah mengalami kejadian serupa. Kali ini ia berhadapan dengan LSM. “Waktu itu kebetulan langsung 77 orang datang ke ruangan saya.
Kasusnya saat itu, saya ingin menetapkan kedisiplinan orang-orang ini. Kalau kerja itu harus disiplin. Patokan kedisiplinan, kan, sudah ada di PKB di BUMA. Perjanjian kerja bersama antara manajeman dengan serikat. Serikat itu mewakili operator-operator. Saya coba tertibkan. Yang enggak benar, yang tidak pernah disiplin, saya berikan sanksi maksimal.”
Putra bahkan sampai mengeluarkan surat peringatan (SP) untuk kelima temannya yang tidak bisa diatur. Kontan saja, kelima orang itu tidak terima dan mengadukan Putra kepada serikat pekerja. Termasuk melaporkannya kepada ketua pemuka adat Dayak.
“Mereka bilang kalau saya menantang mereka. Jadi, mereka datang dengan emosi yang tinggi. Sekitar pukul tiga sore. Saya hadapi mereka sendirian di ruangan saya. Atasan saya memantau dari ruangan sebelah. Saya jawab bahwa saya Superintendent Produksi. Tugas saya adalah berbicara tentang produksi dan membahas safety. Kalau saya sampai menegur bawahan saya, membina bawahan saya, kira-kira salah nggak? SP ini yang buat bukan saya, tapi manajemen, dengan kalian melalui namanya bipartit nasional sehingga munculah perjanjian kerja bersama. Isinya tentang hak dan kewajiban,” tegas Putra.
Ia lalu menjelaskan kepada para pendemonya bahwa niatnya adalah meluruskan bukan untuk mem-PHK. Suasana saat itu terbilang genting. Situasi baru mulai mereda setelah ada seorang operator yang menjadi saksi kunci persoalan angkat bicara. Operator itu lantas mengklarifikasi duduk persoalannya, termasuk menjelaskan bahwa Putra tidak menantang siapa pun, baik serikat pekerja maupun dewan adat Dayak.
Setelah negosiasi yang memakan waktu sekitar tiga jam itu, suasana dingin kembali. Pihak-pihak yang kontra akan keputusan yang diambil Putra, akhirnya bisa memahami dan menerima. “Itu yang menurut saya cukup penting di luar pekerjaan teknis,” ujarnya.
Kejadian-kejadian yang cukup menyita waktu dan meremas hati itu tak hanya dialami para pria pimpinan, melainkan juga perempuan yang menduduki posisi tertentu di BUMA. Fisik, mental, dan otak mereka seolah ditempa agar lebih kuat, lebih bernas.
Tepat pukul 12 siang, lonceng tanda waktu beristirahat berbunyi. Semua karyawan lantas berhenti dari aktivitasnya. Ada yang pergi ke mushala, ada juga yang bergegas membuka kotak makan siang. Ada pula yang memadamkan beberapa lampu hingga ruang kerja menjadi temaram. Sejumlah karyawan lantas merebahkan diri untuk sejenak menghela napas mengusir lelah. Ini adalah pemandangan biasa saat jam istirahat pada kantor-kantor BUMA di area tambang.
Di salah satu sudut ruang kantor BUMA di site Adaro, duduk Galuh Citra Ramadhani. Ibu muda ini adalah Officer - Industrial Relations BUMA. Dengan posisi pekerjaannya itu, ia banyak berhubungan dengan urusan kekaryawanan, termasuk membangun relasi dengan masyarakat di lingkar tambang.
Sambil beristirahat, Galuh menghamparkan pengalamannya selama bekerja di lingkungan tambang. Sebuah lingkungan yang cenderung keras dan maskulin. Mungkin juga berbahaya.
“Kalau untuk job, kebetulan saya lebih ke industrial relation. Jadi, bagaimana kita membangun komunikasi yang baik dengan serikat pekerja. Goal-nya adalah menciptakan hubungan kerja yang harmonis, kondusif, dan kalau bisa jangan sampai ada demo. Jika bisa tidak ada tuntutan yang aneh-aneh dari serikat pekerja. Kalau urusan industrial di Adaro ini, kami bergabungnya ke humas, dulunya namanya CDI (Community Development & Involvement). Kemudian bergabung ke industrial external relation. Jadi, walaupun saya di bidang industrial, tetep nyerempet-nyerempet ke tugas eksternal,” ungkap Galuh.
Tugas eksternal itu contohnya menginisiasi dan mengawal program CSR yang dikoordinasikan dengan stakeholder eksternal. Di Adaro, BUMA memiliki stakeholder eksternal dan internal. Sebelum mengadakan pertemuan dengan mitra kerja perusahaan, Galuh harus mengecek dulu database.
“Misalnya, kami akan mengunjungi Pak A, beliau ini kita pelajari dulu topik pembicaraan apa yang disukainya, kemudian latar belakang beliau apa. Jadi, ketika kami koordinasi bisa dikatakan kecil miss-nya. Untuk eksternal dan internal, kami memang punya database,” imbuhnya.
Di Adaro, BUMA punya dua serikat pekerja. Yang pertama, serikat internal BUMA, namanya Serikat Pekerja Tambang BUMA (SPTB). Yang kedua, serikat eksternal, Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan (SPKEP) yang berafiliasi dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Pendekatan perlu menyesuaikan pola komunikasi kepada kedua serikat pekerja tersebut. “Kami (mencoba) posisinya ada di tengah-tengah, tidak berpihak ke manajemen dan tidak berpihak ke serikat pekerja.
Cara berkomunikasi bisa dengan mulai cerita keluarga, makanan atau yang lainnya. Kedekatan kita bangun dengan cara mengajak ngobrol, ngopi, sambil cerita-cerita bebas,” lanjut Galuh.
Meski sudah berusaha membangun komunikasi secara intens dengan mitra kerja dan karyawan, toh, masih juga ada pihak yang menyampaikan ketidakpuasannya secara berlebihan. Bahkan disertai intimidasi. Ini sungguh-sungguh dialami Galuh.
Pernah, suatu masa pada 2013, Galuh memproses PHK seorang karyawan, tepatnya operator. Karyawan ini tak mau menerima keputusan PHK, ia juga enggan mengikuti prosedur resminya. “Karyawan ini tidak mau mengisi dokumen atau administrasi sebagai syarat PHK. Dia kira-kira bilang, ‘Ya udah lu mau PHK, ya PHK saja.’ Kita minta dia, ‘Pak, tolong tunggu administrasinya karena PM tidak di tempat.’ Karyawan itu marah-marah terus bilang, ‘Kalau kamu kayak gini, saya tampar kamu.’ Saya yang pada saat itu mungkin masih labil Karena baru awal-awal kerja langsung bereaksi, ‘Kalau mau tampar, tampar saja. Tapi jangan lupa, Pak, saya akan proses hukum.’ Nah, dia jadi berpikir, terus dilerai oleh pekerja lain,” ujar Galuh.
Beberapa waktu kemudian operator itu datang kembali dan meminta maaf kepada Galuh. Namun, peristiwa itu bukanlah satu-satunya. Galuh juga pernah mengalami kejadian yang tak kalah ekstrem. Ada karyawan yang di-PHK karena melakukan kekerasan di area kerja. Kebetulan pada 2013, BUMA sedang menggelar program pengurangan karyawan. Yang dikurangi adalah karyawan yang nilai kerjanya di bawah target perusahaan.
Karyawan yang di-PHK kali ini adalah mekanik yang merupakan warga lokal dan memiliki backing orang atas. Saat itu BUMA masih memiliki cabang hauling. Mekanik yang tak terima di-PHK ini lantas memalang KM 43 agar hauling tak bisa melintas. Saat itu, Galuh pun turun tangan untuk membubarkan penutupan jalur itu. Galuh dibantu vendor keamanan Adaro—dan aparat Polsek.
Mekanik itu lalu membentak Galuh, “Kamu apa? Kamu bisa apa? Kamu perempuan. Kamu minggir saja nggak usah kayak gitu!” Galuh pun menjawab, “Loh, Pak, saya di sini bertanggung jawab atas aksi yang Bapak lakukan. Bapak, kan, masih dalam proses pengakhiran hubungan kerja ini.”
Mereka pun dibawa ke polsek. Namun, urusan tak selesai sampai di sini. Sebab, persoalan lalu bergulir juga ke Disnaker sampai persidangan PHI. Di persidangan, mekanik yang di-PHK itu juga membawa dukungan dari senator setempat. Adik dari mekanik itu adalah Wakil Ketua DPRD Barito Timur. Tahapan persidangan ini bahkan hingga Mahkamah Agung.
“Sampai ke MA, dia kalah. Meski dia kalah, perusahaan tetap mempekerjakan dia. Beberapa bulan kemudian ada closing project di 34 dan ujung-ujungnya tetap PHK juga. Kadang ada orang yang memang cenderung nggak mau tahu, pokoknya harus,” kata Galuh.
Ia juga pernah berhadapan dengan “otoritas” setempat, yakni ketua RT. Di samping pos masuk Adaro terdapat pembatas yang menghalangi pekerja untuk tidak melintas di area tersebut karena dinilai berisiko. Nah, ini dipermasalahkan oleh ketua RT itu karena ia merasa usahanya akan terganggu. Usaha yang dimaksud adalah lahan parkir.
“Satu hari bisa 100 motor kali Rp 2.000. Ini disertai ancaman juga bahwa mau menutup tambang. Nah, cuma kami ukur power-nya, kayaknya gak bisa sampai ke sana. Karena kami memang sudah punya datanya,” ujar Galuh.
Galuh bersama timnya telah terbiasa menghadapi ujaran atau tuntutan yang menyeret-nyeret isu identitas atas ketidakpuasan sejumlah mitra kerja. Mitra kerja baik itu karyawan yang bermasalah maupun warga lingkar tambang sering merasa paling benar hanya gara-gara dia warga lokal. Padahal, dalam operasional sehari-hari, BUMA telah mengedepankan azas keseimbangan di samping profesionalisme. Warga lokal juga mendapat kesempatan yang lebar untuk menjadi karyawan dan berpeluang sama untuk berkarier. Jadi, tidak memandang suku, agama, ras, dan golongan.
Warga lokal, lanjut Galuh, banyak yang berprestasi dan mendapat promosi jabatan yang prestisius. Pemikiran bahwa warga lokal kalah bersaing dengan pendatang harus dipupus. Oleh sebab itu, BUMA memiliki bagian yang memberikan pelatihan khusus agar karyawan memiliki kompetensi yang dibutuhkan.
“Awal kerja dulu sempat syok saya, takut. Pernah ada kasus di masa saya menyerahkan SP untuk karyawan yang melanggar, saya disumpah-sumpahin. ‘Saya sumpahin bapakmu mati hari ini juga.’ Kayak gitu. Ada juga yang bilang, ‘Bu, sampean hati-hati sama saya. Mama saya itu dukun sakti di Amuntai.’ Saya jawab, ngapain saya harus takut, Pak? Saya nggak pernah masalah sama Bapak. Bapak disanksi karena melanggar aturan perusahaan. Orang itu setiap malam bilang (melalui SMS), ‘Bu, hati-hati, ya, kalau jalan. Bu, saya tuh kasihan sama ibu, baru nikah. Kalau saya santet ibu bisa-bisa...,” nada bicara Galuh tertahan.
Kengerian-kengerian ancaman itu bahkan kian menusuk perasaan sebab sampai menyenggol hal-hal yang bersifat sangat pribadi. “Ancaman dari orang tadi sudah luar biasa. Dia sempat ngomong, ‘Saya bisa iket kandunganmu, kamu bisa nggak punya anak.’ Bagi wanita, ancaman kayak gitu membuat down. Ketika itu saya mau mundur saja dari BUMA, ingin pulang ke Yogya. Tapi suami saya menguatkan. Kasus ini saya teruskan juga ke kantor pusat,” kenang Galuh.
Akhirnya setelah perusahaan melakukan negosiasi dan karyawan tersebut menerima, ia meminta maaf kepada Galuh. Meski ancaman-ancaman karyawan yang di-PHK tadi menghujam jantung, Galuh tetap menerima permohonan maafnya. Kasus pun ditutup.
Para karyawan perempuan BUMA yang saban hari bekerja dengan penuh risiko patut mendapat apresiasi. Semangat dan keberanian mereka tak kalah dengan karyawan pria. Wujud apresiasi untuk mereka bisa beragam, contohnya memberi izin tak bekerja saat menstruasi, menyediakan ruang laktasi bagi karyawan yang memiliki bayi, memberi tunjangan untuk mematut diri, hingga promosi ke level lebih tinggi.