BAGIAN 5
Bersenggolan dengan rutinitas dan suasana kerja beraroma maskulin, tak hanya ketika karyawan perempuan BUMA berhadapan dengan mitra kerja yang “galak”. Sebab, di dalam perusahaan sendiri terdapat bagian yang pekerjaannya begitu menantang dan biasanya dilakukan oleh laki-laki.
Pekerjaan tersebut yaitu Drill blast yang merupakan bagian dari engineering. Tugasnya adalah membuat perencanaan pengeboran dan peledakan untuk overburden (OB).
Di site Lati, BUMA memiliki Mayati Isabella. Ia adalah Supervisor Drilling & Blasting, yang sebelumnya berdinas di site Adaro. Saat kuliah, ia memang telah berkecimpung dengan dunia pertambangan. Tatkala menyusun tugas akhir, Maya berkenalan dengan BUMA.
“Pas tugas akhir itu saya ambil tema drill blasting juga. Ingin tahu saja seperti apa, sih, pemboran dan peledakan itu. Di bagian ini memang banyak laki-lakinya,” katanya.
Meski setiap hari bekerja dengan banyak rekan pria, Maya mengaku asyik-asyik saja. Semasa kuliah, Maya telah mengikuti pelatihan menjadi juru ledak, tetapi belum mencapai tingkat kompetensi tertentu. Setelah menjadi karyawan BUMA, Maya mengambil kembali pelatihan khusus untuk menjadi juru ledak. Kursus ini dibutuhkan untuk pembuatan magazine permit masuk area gudang bahan peledak atau area peledakan.
“Saya di posisi drill blast engineer, jadi lebih ke merencanakan peledakan, pengeboran dan peledakan, sama evaluasi. Kalau untuk ke lapangan sekitar 20 persenlah, sisanya banyak di office. Kadang juga menjadi koordinator peledakan. Kalau ditanya perasaan, tentu saya selalu was-was sebenarnya. Cuma itu, kan, yang penting kita sesuai prosedur saja,” ujarnya.
Meski jarang terjadi, Maya pernah mengalami hal-hal “unik”, misalnya missfire atau gagal ledak. Kegagalan peledakan ini bisa menjadi missproduct, tapi tidak menerus. “Misalnya bom pertama meledak, terus di lubang kedua dan selanjutnya itu ada missproduct, nah, itu tidak menerus. Jadi tidak terledakkan semua. Gagal ledak ini bisa juga karena cut off atau tertimpa hasil peledakan. Misalnya, peledakan yang beda ketinggian. Kita ledakan yang di atas dulu, tapi tanahnya kemudian menimpa lubang di bawah sehingga gagal ledak.”
Jika terjadi gagal ledak, proses peledakan harus diulang. Timnya akan melakukan perhitungan ulang dan memastikan kembali rangkaian peledaknya. Kejadian seperti ini jelas membuat waktu terbuang. Pasalnya, saat peledakan, semua orang harus berada di posisi aman minimal sampai radius 500 meter dari titik peledakan sehingga kalau sampai gagal ledak, tim blasting harus turun lagi ke lokasi peledakan.
“Tim akan turun lagi mengecek rangkaian mana yang tidak meledak. Nah, itu akan diledakan kembali. Diulang lagi rangkaiannya. Akibatnya, ada delay dan peledakannya juga belum dinyatakan aman. Peledakan dinilai telah aman jika sudah meledak semua kemudian dicek kembali oleh blaster. Mencegah gagal ledak ini juga menjadi tantangan kita,” jelas Maya.
Selain mengelola peledakan, hal lain yang menantang di bagian ini adalah bagaimana melakukan improvisasi peledakan agar kualitas blasting tetap bagus, tapi dengan cost yang tetap terjaga. Tim drill blast punya KPI tersendiri, salah satunya drill blast cost dan powder factor.
“Itu perbandingan penggunaan bahan peledak dengan volume yang kita ledakkan. Semakin besar PF (powder factor) itu, semakin boros. Itu salah satu target KPI. Saya juga sering mengecek langsung ke lapangan. Kita selalu ada evaluasi peledakan. Kita bisa cek, QC, quality control bahan peledak di lapangan diukur biasanya oleh vendor. Untuk bahan peledaknya ada tiga unsur, yakni emulsion, aksesori peledaknya itu ada buster atau dinamit, dan detonator,” terangnya.
Perempuan yang sudah bekerja bersama BUMA selama 6 tahun ini mengaku mendapat kesejahteraan yang baik selama ini. Ia bercita-cita jika kelak usianya sudah menginjak 35 tahun, ia sudah berada di jenjang manajer. Mudah-mudahan.
Di site-site BUMA, atmosfer kekeluargaan terasa kental. Karyawan ngobrol-ngobrol dengan pimpinan adalah hal biasa. Di mes-mes karyawan, hampir setiap hari mereka beradu kebolehan bermain bulutangkis melawan atasannya. Ada juga yang adu merdu suara dengan bosnya saat karaoke bersama.
Suasana seperti itu lumrah, sebab para karyawan yang tinggal di mes—baik staf maupun manajemen—biasanya adalah pendatang. Mereka sama-sama jauh dari keluarga dan orang-orang terkasih. Rekan kerja pun akhirnya menjadi seperti saudara sendiri.
Di kantor, suasana tak jauh berbeda. Saat jam istirahat, obrolan antar karyawan bisa mengalir ke mana-mana. Kadang-kadang saat makan siang bersama atasannya, karyawan pun bisa “curhat”.
Project Manager BUMA di tambang Adaro Vega Perdana bercerita, apa yang diungkapkan karyawan bisa bermacam-macam. Ada yang mengeluhkan fasilitas dan rasa makanan, ada juga yang bertanya tentang status kekaryawanan.
“Kalau untuk rasa makanan contohnya, itu yang tidak bisa kita pegang karena terkait selera orang yang bermacam-macam. Menyediakan makan untuk 1.000 orang, kan, pasti ada yang tidak puas juga. Tapi kalau ada keluhan tentang safety atau kerusakan alat, Insya Allah, perusahaan akan dengan cepat meresponsnya. Yang seperti ini bisa langsung kita tangani. Yang penting jelas alasannya,” ujar Vega.
Persoalan tentang status karyawan juga sering mengemuka. Di BUMA ada yang disebut Labor Supply. Kadang-kadang mereka menanyakan kapan mereka diangkat menjadi karyawan BUMA. Pertanyaan seperti ini cara menjawabnya juga berbeda karena tidak semua perkerjaan BUMA harus di-handle dengan status karyawan organik.
Ada beberapa pekerjaan yang cara menanganinya bersifat kontrak. Namun, ada laporan misalnya pekerja yang berstatus kontrak tersebut sudah bekerja lama dengan BUMA, dan ini sering menjadi dilema perusahaan juga. Oleh sebab itu, BUMA merancang sistem konversi. Orang yang sudah lama bekerja secara kontrak itu akan dipertimbangkan untuk dikonversi. Tentu ia harus memenuhi beberapa syarat, misalnya kepribadiannya baik dan tidak ada isu-isu negatif. Setelah itu, dia akan ditempatkan di posisi yang sesuai di BUMA.
Di samping suasana internal, manajemen BUMA di lapangan ada kalanya berhadapan dengan isu “musiman”, yakni tahun politik. Berbicara tentang politik, para PM mengakui bahwa di pertambangan sudah biasa tersenggol persoalan politik. Sebagai antisipasinya, PM biasanya telah menyiapkan berbagai rencana sehingga pekerjaan BUMA tidak terganggu ingar-bingar pilkada, pilgub, bahkan pilpres. Meski sebenarnya, untuk urusan politik ini, pihak Adaro-lah yang meng-handle-nya.
“Owner ikut turun kalau untuk menghadapi isu-isu politik. Jadi, kalau ada apa-apa kita konsultasi dengan mereka. Contoh yang paling gampang beberapa waktu lalu bupati menelepon ingin ketemu dan meminta dukungan. Kebetulan, saya kenal beberapa calon bupati. Ada yang minta dukungan politik dan sebagainya. Ada juga orang kuat di wilayah ini, tapi justru tidak menyentuh kami. Ya, saya bersyukur sajalah. Semoga berlanjut sampai tahun politiknya selesai. Takutnya saat ini masih pemanasan,” imbuh Vega.
Uniknya, lanjut Vega, ia juga sering mendapat kontak dari bupati-bupati “palsu” saat-saat tahun politik seperti ini. Mereka menelepon dan mengaku sebagai orang dekat atau utusan bupati untuk minta sesuatu. Namun, karena Vega sudah mengenal dengan bupati sebenarnya, ia abaikan saja permintaan bupati “palsu” itu. BUMA sudah terbiasa dengan bupati “palsu” ini.
Vega juga menambahkan, militansi karyawan BUMA sudah dibentuk sejak awal karyawan bergabung. Watak militan terbentuk karena kesadaran bahwa bekerja di tambang batubara dapat menjadi sumber nafkah yang oke. Wujud militansi ini semisal, jadwal cuti dulu hanya setahun sekali dan dengan kebijkan ini pun banyak karyawan yang bertahan. Para karyawan BUMA bekerja tak mengenal waktu. Apalagi, saat ini, perusahaan telah memberikan cuti setiap dua bulan sekali, ditambah remunerasi yang baik. Tentu, karyawan akan lebih bersemangat dan semakin tak mudah menyerah.
“Saya masuk BUMA ini saya melihat memang sudah diisi orang-orang yang militan semua. Setelah BUMA beralih kepemilikan, memang aturan kerjanya diperjelas. Ada SOP baru, ada regulasi baru,” kata Vega.
BUMA menempatkan banyak karyawan muda di jobsite Adaro. Hal ini tentu memberi keuntungan bagi manajemen di sana, sebab kerja sama tim jadi lebih mudah dibangun. Selain itu, karyawan muda relatif lebih enjoy saat bekerja.
Bagaimana cara menilai militansi karyawan? Lihatlah kinerja mereka saat perusahaan dalam kondisi sulit. Bila karyawan tetap bekerja dengan semangat, mau diajak berdiskusi mencari solusi, itu tandanya mereka militan dan optimistis.
Teguh Kusumantono, HR Superintendent BUMA di site Adaro, menjadi salah satu saksi mata tentang semangat pantang menyerah para karyawan BUMA. Pada 2013-2015, industri batubara mengalami turbulensi serius. Sejumlah owner lahan memilih menghentikan aktivitas penambangannya. Akibatnya, beberapa kontraktor pertambangan harus merumahkan sebagian besar karyawannya. Namun, BUMA memilih “menguji” kemampuannya untuk bertahan dalam situasi sulit ini.
“Kami di site Adaro memutuskan untuk memberlakukan sistem tiga hari siang, tiga hari malam, tiga hari off. Dengan catatan, karyawan yang masuk shift dua atau shift malam diliburkan. Jadi, tiga hari masuk, enam hari libur. Karyawan menerima pemberlakuan sistem ini sebagai cara perusahaan bertahan. Apalagi di depan mata kita terlihat langsung perusahaan kontraktor lain yang collapse,” kata Teguh.
Site Adaro digarap oleh beberapa kontraktor, salah satunya BUMA. Tiap karyawan di setiap kontraktor jadi bisa saling “mengintip” kondisi perusahaan sebelah yang oleng tatkala dihantam turbulensi harga batubara. Menariknya, di bawah tekanan keadaan itu, karyawan BUMA malah makin produktif dalam bekerja.
“Saat itu, karyawan umumnya berpikir, ‘Wah, jam kerja saya berkurang, hari kerjanya berkurang, pasti gajinya juga berkurang.’ Tapi teman-teman tetap semangat. Itu menjadi salah satu poin militansinya. Bukan hanya saat kondisi batubara oke, kondisi perusahaan sedang oke, tapi ketika kondisi memaksa kita untuk survive dan bekerja secara efektif serta efesiensi. Mereka masih tetap bekerja keras dan targetnya pun tercapai,” imbuh Teguh.
Formulasi jam kerja baru itu berhasil diterapkan 4–6 bulan di bagian operasional dan mekanik. Di office, formulasi yang dijalankan adalah enam-satu. Enam hari kerja, satu hari libur. Taktik ini berjalan selama dua tahun. Yang menarik adalah strategi ini diracik dengan diskusi-diskusi. Teguh bersama timnya secara maraton melakukan diskusi di setiap divisi dengan menjadikan opsi merumahkan karyawan sebagai pilihan terakhir.
Dalam diskusi-diskusi itu, tim mendetailkan angka-angka kemampuan dan kapasitas produksi. Sebab, yang melakukan pembatasan adalah pemilik tambang, bukan kontraktornya. Dengan demikian, jika kontraktor meminta angka sekian, jumlah tersebut akan dibagi-bagi agar seluruh karyawan BUMA tetap bisa bekerja.
Dalam impitan keadaan itu, gaji karyawan tetap dibayarkan sesuai jadwal dan tidak ada pemotongan gaji pokok. Yang dikurangi adalah komponen biaya seperti insentif atau tunjangan. Karyawan bahkan tetap mendapat bonus meski jumlahnya mengecil. Semua karyawan di semua jenjang mengalami hal yang sama.
Apakah suasana kerja berubah? “Pada saat itu saya pikir bahwa harusnya berubah, ya. Tapi saya lihat teman-teman semangatnya masih tinggi. Kalau teman-teman office, kan, sebenarnya day to day begitu-begitu saja kerjanya. Sesuai dengan job desc mereka, ya. Tapi saya lihat mereka tetap semangat ngelihatin bahwa mereka masih tetap semangat bekerja. Tidak ada yang malas-malasan atau apa,” ungkap Teguh.
Saat pasar industri batubara mulai pulih, pemilik tambang pun mencabut pembatasan-pembatasan aktivitas penambangan. Usai melewati masa-masa kritis itu, manajeman BUMA melakukan review terhadap kebijakan yang pernah dikeluarkan dan Teguh bersama timnya menjadi foreman untuk bicara kepada teman-teman serikat pekerja. Mereka harus duduk bersama kembali untuk menegosiasikan keputusan-keputusan manajemen terkait kekaryawanan. Di sinilah, tim HR BUMA bisa menilai komitmen dari mitra kerja mereka.